Sebelum menjawabnya, mari kita mulai dengan apa itu deflasi?
Deflasi adalah penurunan dalam indeks harga umum. Dengan kata lain ini adalah kondisi dimana angka inflasi adalah negatif.
Deflasi meningkatkan nilai riil utang dalam arti, nilai pinjaman menjadi jauh lebih besar. Sementara itu, penurunan harga yang terus-menerus dapat mendorong konsumen untuk menunda konsumsi hari ini, yang mengarah pada penurunan permintaan. Kondisi ini mengarah pada tekanan deflasi lebih lanjut.
Deflasi lebih sulit untuk dihadapi oleh kebijakan moneter konvensional daripada inflasi. Ini karena memangkas suku bunga nominal jauh di bawah nol untuk merangsang ekonomi akan jauh lebih sulit.
Ketika deflasi terjadi, orang akan sering meminjam lebih sedikit uang. Ini karena deflasi dapat menyebabkan gaji turun, membuatnya lebih sulit untuk melunasi pinjaman. Hal ini dapat menyebabkan penurunan permintaan pinjaman.
Dalam kondisi seperti itu, bank sentral biasanya akan mengadopsi kebijakan moneter ekspansioner dengan menurunkan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga diharapkan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi dan mendorong inflasi naik (keluar dari deflasi).
Kebijakan non-konvensional
Kebijakan moneter menjadi lebih sulit ketika suku bunga telah mencapai level yang sangat rendah (mendekati 0%), tetapi deflasi masih berlangsung. Jika kebijakan moneter konvensional – penyesuaian suku bunga jangka acuan – tidak lagi mampu merangsang ekonomi begitu batas suku bunga nominal nol atau bahkan negatif telah tercapai, apakah kebijakan moneter tidak berguna?
Beberapa ekonom kemudian menyarankan kebijakan moneter non-konvensional. Secara efektif, bank sentral akan mencetak uang dan memompanya ke dalam perekonomian. Pendekatan tidak konvensional ini dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (quantitative easing atau QE). Secara operasional, cara kerjanya mirip dengan operasi pasar terbuka tetapi dilakukan dalam skala yang jauh lebih besar.