Contents
Ketersediaan adalah faktor yang mempengaruhi impor. Kita mengimpor barang dari luar negeri karena mereka tidak tersedia di pasar domestik. Perekonomian domestik tidak memproduksi mereka, misalnya karena lokasi geografis tidak mendukung.
Alasan lain kita mengimpor adalah harga dan kualitas. Produk domestik mungkin tersedia, tapi mahal. Atau, kualitas mereka lebih rendah daripada produk asing. Sehingga, kita membeli dari luar negeri untuk mendapatkan yang lebih murah atau lebih berkualitas.
Selain kedua faktor, faktor lain juga mempengaruhi impor, termasuk:
- Permintaan domestik
- Pendapatan domestik
- Nilai tukar
- Kebijakan pemerintah
- TIngkat produktivitas
Ketersediaan
Barang dan jasa tertentu mungkin tidak diproduksi perekonomian domestik. Ini adalah alasan utama mengapa impor ada. Kita membutuhkan mereka tapi kita harus membelinya dari negara lain.
Permintaan gandum oleh negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia adalah contoh bagus. Wilayah geografis mereka tidak cocok untuk menanam gandum. Sehingga, mereka harus membeli dari negara lain seperti China, Rusia, dan India untuk memenuhi permintaan domestik mereka.
Dalam kasus lain, sebuah negara mengimpor karena produksi dalam negeri tidak mencukupi. Sehingga, ada kekurangan di pasar karena pasokan domestik kurang dari permintaan domestik. Akibatnya, negara tersebut harus mengimpor dari luar negeri untuk menutupi kekurangan tersebut.
Harga atau tingkat inflasi
Produksi dalam negeri mungkin memenuhi permintaan, tapi mahal. Alasannya mungkin adalah sumber daya tidak mencukupi atau teknologi tidak mendukung. Akibatnya, perekonomian domestik memproduksi mereka pada biaya yang lebih mahal daripada negara lain. Dengan kata lain, perekonomian domestik tidak memiliki keunggulan komparatif untuk memproduksi barang tersebut.
Ketidakunggulan komparatif (comparative disadvantage) membuat produksi kurang efisien dibandingkan dengan negara lain. Sebagai hasilnya, produk domestik berharga lebih mahal karena memerlukan lebih banyak biaya untuk memproduksi mereka. Sehingga, kita harus mengimpor dari negara lain untuk mendapatkan yang lebih murah. Pilihan tersebut lebih masuk akal daripada menggunakan sumber daya untuk memproduksi barang yang tidak kompetitif.
Singkat cerita, ketika barang luar negeri lebih murah di luar negeri, kita cenderung meningkatkan impor. Sebaliknya, ketika barang domestik berharga lebih murah daripada di pasar internasional, kita beralih ke mereka.
Dan secara agregat, harga barang dan jasa terefleksi dari tingkat inflasi. Ketika tingkat inflasi domestik lebih tinggi daripada pasar internasional, barang-barang domestik adalah lebih mahal. Situasi ini mengarah pada peningkatan impor karena barang luar negeri lebih murah. Dan efek sebaliknya berlaku ketika tingkat inflasi domestik lebih rendah.
Permintaan domestik
Perubahan permintaan dalam konsumsi rumah tangga, investasi bisnis dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi impor. Produksi dalam negeri mungkin tidak bisa memenuhi semua permintaan tersebut. Sehingga, ketika produksi domestik tidak cukup, perekonomian harus mengimpor untuk memenuhi permintaan di dalam negeri.
Misalnya, bisnis harus membeli beberapa barang modal berteknologi tinggi dari negara maju. Atau, rumah tangga membeli barang mewah atau barang antik dari luar negeri. Atau pemerintah menggunakan jasa yang disediakan oleh konsultan asing untuk proyek infrastruktur domestik.
Perubahan dalam impor terkait dengan konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pendapatan dan keuntungan adalah contohnya. Sementaara itu, pemerintah mungkin meningkatkan impor untuk mendukung proyek infrastruktur yang diluncurkan. Selain itu, perubahan dalam selera dan preferensi konsumen juga bisa mengubah permintaan mereka terhadap produk luar negeri.
Pendapatan domestik
Kita membelanjakan pendapatan kita untuk impor selain untuk membeli produk domestik dan untuk menabung. Sehingga, peningkatan impor sering diatribusikan dengan peningkatan pendapatan.
Ketika pendapatan meningkat, kita menghabiskan lebih banyak pada produk impor. Berapa banyak ekstra produk yang kita impor relatif terhadap ekstra pendapatan kita disebut dengan marginal propensity to import (MPM). Semakin tinggi MPM, semakin besar yang kita habiskan untuk impor.
Ekonom biasanya menggunakan produk domestik bruto (PDB) atau gross national income (GNI) untuk mewakili pendapatan secara agregat. Dan karena pendapatan agregat akan sama dengan output agregat, maka perubahan pendapatan berkorelasi positif dengan perubahan dalam output agregat.
Sehingga, ketika menghasilkan lebih banyak output (ekspansi), perekonomian menciptakan lebih banyak pendapatan. Sebagai akibatnya, permintaan terhadap impor meningkat karena tidak semua barang yang dibutuhkan dan diinginkan disediakan oleh produsen lokal.
Karena alasan ini, peningkatan impor tidak selalu berkonotasi negatif. Melainkan, itu bisa jadi mengindikasikan perekonomian yang sedang tumbuh.
Nilai tukar
Depresiasi membuat barang impor menjadi lebih mahal ketika masuk ke pasar domestik, mengurangi permintaan terhadap mereka, ceteris paribus. Sebaliknya, apresiasi membuat barang asing menjadi lebih murah, meningkatkan permintaan impor.
Misalnya, sebuah produk berharga $1 dan tidak berubah. Katakanlah, nilai tukar euro terdepresiasi dari EUR1 menjadi EUR1,2 per dolar AS. Meski harga tidak berubah, depresiasi membuat produk tersebut lebih mahal bagi orang eropa karena mereka harus mengeluarkan EUR1,2 untuk mendapatkannya, lebih banyak daripada sebelum euro terdepresiasi (EUR1).
Sebaliknya, jika euro terapresiasi menjadi EUR0,98 per dolar AS, barang tersebut menjadi lebih murah. Orang eropa mengeluarkan lebih sedikit euro (dari EUR1 menjadi EUR0,98) untuk membeli produk tersebut.
Ketika kita menyesuaikan nilai tukar nominal dengan tingkat inflasi, kita mendapatkan nilai tukar riil. Sehingga, misalnya, ketika itu terdepresiasi, barang-barang domestik lebih murah dibandingkan dengan barang-barang asing. Akibatnya, ekspor cenderung meningkat dan impor cenderung menurun.
Tapi, hubungan antara impor dengan nilai tukar adalah lebih kompleks. Misalnya, depresiasi mungkin tidak menghasilkan peningkatan impor jika biaya terkait dengan pengiriman barang ke pasar domestik mahal, lebih tinggi daripada selisih harga domestik dengan harga internasional.
Dalam kasus lain, perubahan dalam impor juga bisa mempengaruhi nilai tukar. Itu karena kita impor melibatkan dua nilai tukar berbeda. Ketika impor meningkat, kita menukar mata uang domestik ke mata uang negara mitra untuk membayar. Sehingga, permintaan terhadap mata uang negara mitra meningkat, relatif terhadap mata uang domestik. Akibatnya, peningkatan impor menyebabkan mata uang domestik terdepresiasi, ceteris paribus.
Kebijakan pemerintah
Beberapa kebijakan pemerintah mempengaruhi impor. Misalnya, liberalisasi merangsang perdagangan antar negara, termasuk impor. Sebaliknya, proteksi perdagangan seperti kuota dan tarif impor menurunkan perdagangan.
Misalnya, ketika pemerintah mengenakan tarif impor yang lebih tinggi, produk luar negeri menjadi lebih mahal ketika dijual di pasar domestik. Sebagai akibatnya, mereka kurang menarik bagi konsumen domestik. Harga yang lebih tinggi membuat produk impor kurang kompetitif dibandingkan dengan produk domestik. Sebagai akibatnya, kebijakan tersebut menurunkan permintaan terhadap produk impor.
Selain contoh di atas, kebijakan makroekonomi pemerintah juga bisa mempengaruhi impor melalui efek mereka terhadap aktivitas ekonomi domestik dan pendapatan domestik. Misalnya, kenaikan suku bunga mendorong arus masuk modal dan menyebabkan nilai tukar terapresiasi. Sebagai hasilnya, barang impor menjadi lebih murah, meningkatkan permintaan mereka.
Kemudian pemerintah mungkin juga membentuk kerjasama regional dengan membentuk serikat ekonomi, seperti yang dilakukan oleh negara Uni Eropa. Kebijakan tersebut mendorong peningkatan perdagangan diantara negara anggota dan barang dan jasa mengalir bebas antar mereka karena hambatan perdagangan dihapus.
Tingkat produktivitas
Tingkat produktivitas mempengaruhi harga. Ketika kita lebih produktif untuk membuat sebuah produk, kita memiliki keunggulan komparatif. Sehingga, kita bisa menghasilkan produk tersebut lebih murah daripada negara lain. Oleh karena itu, kita tidak perlu mengimpornya dari luar negeri. Sebaliknya, kita dapat mengekspornya dan menghasilkan pendapatan karena lebih kompetitif di pasar luar negeri.
Kemudian, kita mungkin tidak memiliki keunggulan komparatif untuk produk lainnya. Memang, kita bisa memproduksi mereka, tapi pada biaya yang lebih mahal karena kurang produktif. Akibatnya, kita menjual mereka pada harga yang lebih mahal. Dalam kasus ini, kita lebih baik membeli produk dari luar negeri daripada memproduksinya, mengasumsikan harga menjadi pertimbangan utama kita -mengabaikan kontribusi pada penciptaan pendapatan dan pekerjaan di dalam perekonomian.