Contents
Apa itu: Kerugian bobot mati (deadweight loss) adalah hilangnya surplus produsen atau konsumen karena pasar berada pada disequilibrium. Kerugian tersebut mengurangi surplus ekonomi (kesejahteraan sosial) karena tidak ditangkap oleh salah satu pihak yang bertransaksi di pasar (produsen or konsumen) atau pemerintah.
Pasar beroperasi secara inefisiensi, menyebabkan hilangnya kesejahteraan ekonomi. Penyebabnya dapat berasal dari monopoli, eksternalitas, pajak, dan kontrol harga.
Kerugian bobot mati terjadi ketika pasar berada pada titik disequilibrium. Sebagai hasilnya, harga dan kuantitas tidak mencerminkan kepentingan terbaik permintaan dan penawaran. Itu pada akhirnya mengarah pada inefisiensi alokasi sumber daya ekonomi. Surplus yang hilang oleh satu pihak tidak ditransfer ke pihak lain.
Menghitung kerugian bobot mati
Untuk menghitung kerugian bobot mati di pasar, mari ambil contoh dalam kasus pajak pada penjual. Kerugian bobot mati sama dengan setengah dari perkalian perubahan harga dengan perubahan kuantitas yang diminta.
Dalam gambar di atas, segitiga abu-abu mewakili kerugian bobot mati. Total kerugian bobot mati sama dengan luas segitiga tersebut. Jadi, anda dapat menghitungnya dengan menggunakan rumus berikut:
Kerugian bobot mati = 1/2 x (Qe-Q1) x (P1-P2)
Misalnya, harga equilium pasar masing-masing adalah Rp4 per unit. Sedangkan, kuantitas ekuilibrium adalah sebanyak 100 unit.
Pemerintah menetapkan pajak pada penjual sebesar Rp2 per unit. Katakanlah, produsen meneruskan pajak tersebut ke harga jual. Sehingga, harga jual naik menjadi Rp6 (Rp2 + Rp4). Di harga tersebut, produsen hanya dapat menjual lebih sedikit barang. Akhirnya, mereka mengurangi pasokan pasar menjadi 50 unit.
Dari kasus tersebut, total kerugian bobot mati adalah sebesar Rp50 = 1/2 x (100-50) x (6-4). Pendapatan pajak pemerintah adalah sebesar Rp100 (Rp2 x 50), berasal dari beberapa surplus konsumen dan produsen yang hilang.
Contoh kerugian bobot mati
Kerugian bobot mati terjadi karena adanya inefisiensi pasar, yang terjadi ketika penawaran dan permintaan berada di luar ekuilibrium (keseimbangan). Sehingga, harga dan kuantitas barang di pasar tidak mencerminkan hasil yang terbaik bagi penjual dan pembeli.
Faktor-faktor yang menyebabkan kerugian bobot mati adalah:
- Kontrol harga
- Pajak
- Eksternalitas
- Persaingan tidak sempurna
Kontrol harga
Kontrol harga dapat mengambil dua bentuk:
- Price floor
- Price ceilings
Di bawah price floor, pemerintah menetapkan harga minimum untuk barang dan jasa. Tujuannya adalah untuk membantu produsen atau pemasok dengan menjaga harga agar tidak jatuh terlalu rendah. Contoh price floor adalah upah minimum.
Agar efektif, pemerintah menetapkannya di atas harga ekuilibrium. Sebagai hasilnya, pasar mengalami ekses pasokan, di mana kuantitas yang dipasok melebihi kuantitas yang diminta.
Sekarang, ambil contoh upah minimum. Di pasar tenaga kerja, tenaga kerja mewakili produsen dan bertindak sebagai pemasok. Sedangkan, perusahaan mewakili konsumen dan bertindak sebagai pembeli.
Pemerintah menetapkan upah minimum di atas upah ekuilibrium. Karena upah lebih tinggi, lebih banyak individu yang bersedia pemasok jasa tenaga kerja. Di sisi lain, lebih sedikit pemberi kerja yang bersedia membayar upah tinggi, mengurangi permintaan pasar. Sebagai hasilnya, kuantitas yang ditawarkan (Q2) melebihi kuantitas yang diminta (Q1) sehingga terjadi surplus.
Itu kemudian memunculkan kerugian bobot mati dalam perekonomian. Kuantitas permintaan di pasar kurang dari kuantitas yang memaksimalkan kesejahteraan (Qe).
Surplus produsen (pemasok) berkurang sebesar segitiga abu-abu yang bawah. Pada saat yang sama, produsen menerima transfer surplus konsumen. Kesejahteraan hilang karena pasar menghadapi lebih banyak pengangguran sebagai akibat permintaan yang lebih rendah. Lapangan kerja menyusut daripada yang seharusnya ketika upah minimum tidak ada. Namun demikian, mereka yang bekerja menerima upah yang lebih tinggi.
Di sisi lain, surplus konsumen juga berkurang. Total surplus yang hilang sebesar luas kotak di atas harga ekuilibrium (ditransfer ke produsen) plus segitiga abu-abu atas. Perusahaan sekarang harus membayar upah yang lebih tinggi dan menghadapi lebih banyak pasokan tenaga kerja yang kurang berkualitas.
Sementara itu, di bawah price ceiling, pemerintah menetapkan harga maksimum untuk barang dan jasa. Pemerintah melarang produsen untuk menjual pada harga yang lebih tinggi. Tujuan price ceiling adalah untuk melindungi konsumen dari kondisi yang dapat membuat barang sangat mahal.
Agar efektif, pemerintah menetapkan price ceiling di bawah ekuilibrium. Pemerintah merasa bahwa ekuilibrium terlalu tinggi. Sehingga, untuk menjaga agar produk terjangkau bagi masyarakat, pemerintah menetapkan price ceiling di bawah ekuilibrium. Contoh price ceiling yang sering dikutip adalah kontrol sewa.
Price ceiling juga dapat menciptakan kerugian bobot mati. Pasar mengalami kelangkaan (shortage). Produsen hanya bersedia memasok lebih sedikit barang (Q1) dari yang seharusnya (Qe) karena harus menanggung harga yang lebih rendah. Akibatnya, pasar mengalami kekurangan dan beberapa konsumen tidak mendapatkan barang (surplus konsumen hilang). Surplus produsen berkurang, beberapa ditransfer menjadi surplus konsumen (luas persegi di bawah harga ekuilibrium) dan yang lainnya hilang (segitiga abu-abu bawah).
Pajak
Pajak adalah salah satu sumber inefisiensi pasar dan mendistorsi pasar bebas. Pajak menghasilkan biaya produksi dan harga yang lebih tinggi.
Pengenaan pajak pada harga jual akhirnya (pajak pada pembeli) mencegah orang untuk melakukan pembelian yang seharusnya mereka lakukan. Sebagai hasilnya, kurva permintaan bergeser ke kiri ke D2. Permintaan terhadap barang berkurang, sehingga produsen hanya dapat memproduksi dan menjual sebesar Q1. Sebagai hasilnya, surplus konsumen dan produsen berkurang. Beberapa dari kedua surplus menjadi pendapatan pajak pemerintah, sisanya hilang menjadi kerugian bobot mati akibat kekurangan produksi (luas segitiga abu-abu).
Demikian juga, jika pemerintah mengenakan pajak terhadap produsen, itu menggeser kurva penawaran ke kiri, dari S1 ke S2. Akibatnya, harga pasar naik menjadi P1 dan kuantitas ekuilibrium turun menjadi Q1.
Surplus konsumen berkurang karena harus membayar lebih mahal (dari Pe ke P1). Demikian juga, surplus produsen berkurang. Meski harga lebih tinggi, namun produsen hanya dapat memproduksi dan menjual lebih sedikit barang (dari Qe menjadi Q1).
Beberapa surplus konsumen dan produsen yang hilang ditransfer ke pemerintah (pendapatan pajak, seluas kotak berwarna orange). Sementara, bagian lainnya hilang dan membentuk bobot mati (segitiga berwarna abu-abu).
Eksternalitas
Kerugian bobot mati juga muncul akibat eksternalitas. Polusi adalah contoh dari eksternalitas. Biaya akibat polusi bagi pihak ketiga (tidak terlibat dalam produksi atau konsumsi barang) tidak tercermin dari harga pasar. Oleh karena itu, jika harga pasar memperhitungkan biaya polusi, tingkat pasokan optimal akan lebih rendah daripada kuantitas ekuilibrium.
Persaingan tidak sempurna
Secara umum, kerugian bobot mati tidak ada hanya jika pasar beroperasi di bawah persaingan sempurna. Kekuatan permintaan dan penawaran menentukan harga dan kuantitas ekuilibrium.
Kekuatan permintaan bekerja untuk hasil yang terbaik bagi konsumen, Sedangkan, penawaran bertindak untuk hasil terbaik bagi kepentingan produsen. Pasar bekerja untuk menyelesaikan kedua kekuatan. Sehingga, hasil pasar (harga dan kuantitas ekuilibrium) merupakan yang terbaik bagi produsen dan konsumen.
Sebaliknya, di bawah persaingan tidak sempurna, pasar tidak mencapai ekuilibrium sebagaimana persaingan sempurna. Beberapa pihak memiliki kekuatan pasar untuk mempengaruhi pasokan dan permintaan pasar. Contoh pasar persaingan tidak sempurna adalah monopoli, oligopoli, oligopsoni, dan monopsoni.
Ambil kasus pasar monopoli. Pasar terdiri dari satu penjual sehingga menentukan pasokan pasar. Pemonopoli dapat membatasi pasokan untuk menaikkan harga. Harga yang lebih tinggi membatasi konsumen untuk menikmati barang. Secara konsep, prinsip kerjanya mirip dengan pajak pada penjual.
Ingat: Di pasar monopoli, jika pemonopoli dapat menetapkan diskriminasi harga sempurna, itu tidak menghasilkan kerugian bobot mati. Pemonopoli menangkap semua surplus konsumen yang hilang dan menjadikannya sebagai surplus produsen. Sehingga, surplus ekonomi tetap sama, yakni sebesar surplus produsen. Semua manfaat ekonomi dari pertukaran di pasar menjadi milik pemonopoli.
Dampak kerugian bobot mati terhadap perekonomian
Inefisiensi pasar muncul karena disequilibrium. Akibatnya, ada kesejahteraan ekonomi yang hilang. Idealnya, manfaat yang hilang tersebut ditransfer kepada pihak salah satu pihak yang bertransaksi. Namun, dalam kasus kerugian bobot mati, manfaat yang hilang oleh satu pihak tidak ditangkap sepenuhnya oleh pihak lainnya (baik konsumen maupun produsen), atau pemerintah (melalui pendapatan pajak).
Dalam kasus price floor di atas, harga lebih tinggi daripada harga ekuilibrium. Itu menguntungkan produsen karena menikmati harga yang lebih tinggi. Di sisi lain, itu merugikan pembeli karena harus membayar harga yang lebih tinggi daripada yang seharusnya. Tapi, tidak semua kerugian konsumen (surplus konsumen) ditransfer menjadi keuntungan produsen.
Begitu juga, seperti kasus price ceiling, harga lebih murah bagi konsumen karena di bawah ekuilibrium. Di sisi lain, itu kurang menguntungkan bagi produsen dan mereka kehilangan beberapa manfaat dari pertukaran di pasar. Dan, tidak semua manfaat yang hilang oleh produsen (surplus produsen berkurang) tersebut dikonversi menjadi surplus konsumen.