Contents
Apa itu: Altman Z-score merupakan formula multivariabel untuk mengukur potensi kebankrutan sebuah perusahaan. Itu merupakan fungsi dari dari lima rasio keuangan, yakni rasio profitabilitas, leverage, likuiditas, solvabilitas, dan aktivitas.
Perhitungannya juga mudah. Anda hanya perlu menghitung masing-masing rasio terlebih dahulu kelima rasio tersebut. Kemudian, anda masukkan dalam persamaan untuk menghasilkan Z-Score.
Skor tersebut berguna untuk memprediksi apakah suatu perusahaan memiliki tingkat probabilitas yang tinggi untuk pailit. Kemudian, dari hasilnya, anda juga dapat membandingkannya dengan perusahaan lain.
Mengapa Altman Z-score penting
Altman Z-score penting karena memfasilitasi analisa dan membuat keputusan. Anda dapat dengan mudah menilai kualitas kredit perusahaan tanpa harus mengembangkan model sendiri.
Di pasar saham, investor menggunakan Z-Score untuk keputusan jual atau beli sebuah perusahaan. Mereka biasanya mempertimbangkan untuk membeli saham jika nilai Altman Z-Score mendekati 3 dan menjual saham jika nilainya mendekati 1,8.
Rumus Altman Z-score
Edward I. Altman pada tahun 1967 mengukur kerentanan bisnis terhadap kegagalan dengan menggunakan statistik multivariat. Dia menggunakan sistem pembobotan dari lima rasio keuangan utama. Dia kemudian merilis hasilnya pada tahun 1968 sebagai model Altman Z-score pertamanya:
Z-Score = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5… Model 1
Dimana:
X1 = Modal kerja/Total aset (Working capital/Total assets). Modal kerja sama dengan aset lancar minus kewajiban lancar. Rasio ini memberitahu anda seberapa baik bantalan yang tersedia untuk liabilitas jangka pendek. Jika perusahaan memiliki modal kerja yang relatif tinggi dibandingkan dengan total aset, perusahaan memiliki likuiditas yang relatif baik.
X2 = Laba ditahan/Total aset (Retained earnings/Total assets). Laba ditahan adalah akumulasi laba bersih yang tidak dibagikan ke pemegang saham sebagai dividen. Itu merupakan sumber modal internal. Di laporan keuangan, itu di bagian ekuitas pemegang saham. Perusahaan dapat menggunakannya untuk berbagai keperluan, termasuk untuk melunasi utang. Semakin tinggi rasio, semakin besar modal internal dan semakin kecil perusahaan tergantung pada utang. Jika perusahaan memiliki sedikit laba ditahan, perusahaan harus mendapatkan modal dari sumber lain, melalui suntikan modal oleh pemegang saham atau utang.
X3 = Laba sebelum bunga dan pajak/Total aset (Earnings before interest and tax atau EBIT/Total assets). EBIT memberitahu anda laba yang diperoleh perusahaan dari keseluruhan operasinya, sebelum membayar pengeluaran rutin, pajak dan bunga. Rasio ini menunjukkan ke anda profitabilitas, yang mana secara khusus mengukur tingkat pengembalian yang perusahaan hasilkan dari asetnya. Dengan kata lain, jika rasio tinggi, itu menunjukkan perusahaan mampu memanfaatkan asetnya untuk menghasilkan keuntungan.
X4 = Nilai pasar ekuitas/Total liabilitas (Market value of equity/Total assets). Rasio ini mengukur solvabilitas perusahaan menggunakan nilai pasar alih-alih nilai buku. Nilai pasar ekuitas sama dengan perkalian antara harga saham perusahaan dengan jumlah saham yang beredar, termasuk saham biasa dan saham preferen. Sedangkan, total aset sama dengan nilai pasar saham plus liabilitas. Jadi, rasio ini memberitahu anda jumlah ekuitas miliki relatif terhadap aset yang perusahaan miliki. Semakin tinggi rasio, semakin sedikit perusahaan mengandalkan utang.
X5 = Pendapatan/Total aset (Total sales/Total assets). Ini adalah rasio perputaran aset, yakni kemampuan perusahaan untuk menghasilkan pendapatan dari aset yang dimiliki. Altman memandang rasio ini mengukur kemampuan perusahaan dalam menghadapi kondisi persaingan. Semakin tinggi rasio semakin baik perusahaan memanfaatkan asetnya untuk menghasilkan penjualan.
Untuk Model 1, peluang kebangkrutan semakin tinggi jika skor berada di bawah 1,8. Sementara, perusahaan yang memiliki skor di atas 3 berpeluang kecil untuk bangkrut dan relatif aman. Sedangkan, skor antara 1,81 dan 3 mewakili zona hati-hati.
Model pertama Altman diatas tidak cocok untuk perusahaan kecil, non-manufaktur, atau swasta. Dalam membangun modelnya, Altman menggunakan data statistik dari perusahaan manufaktur publik. Selain itu, dia juga mengecualikan semua perusahaan dengan aset kurang dari USD1 juta. Sehingga, di luar kategori tersebut, model tidak relevan karena sampel yang tidak memadai.
Kemudian, Altman mengembangkan dua model lanjutan Z Score. Dia menggunakan sampel perusahaan swasta dan perusahaan non-manufaktur. Sehingga, model yang di update tersebut lebih relevan untuk semua perusahaan.
Untuk perusahaan swasta, karena informasi harga saham tidak tersedia, Altman mengganti nilai pasar ekuitas pada variabel X4 dengan nilai buku ekuitas pemegang saham. Model Altman Z-Score untuk perusahaan swasta adalah:
Z-Score = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 +0,420X4 +0,998X5 … Model 2
Untuk Model 2, Z-Score yang bagus untuk untuk perusahaan swasta berada di atas 2,9, menunjukkan peluang bangkrut yang rendah. Sebaliknya, perusahaan swasta berpeluang besar untuk bangkrut jika nilai Z-Score berada di bawah 1,23.
Sedangkan, untuk perusahaan non-manufaktur, dia menghilangkan variabel X5. Persamaan untuk modelnya adalah sebagai berikut:
Z-Score = 6,56X1 + 3,26X2 +6,72X3 +1,05X4… Model 3
Untuk Model 3, nilai di atas 2,60 kemungkinan bangkrut sangat kecil dan nilai di bawah 1,10 berarti perusahaan berpeluang besar untuk bangkrut.
Kritik terhadap Altman Z-Score
Dalam makalah awal, Altman menemukan Z-Score 72% akurat memprediksi kebangkrutan dua tahun sebelum kejadian. Dalam tes berikutnya, akurasi Altman Z-Score antara 80% dan 90%.
Z-score memberikan indikasi yang lebih baik daripada peringkat kredit oleh lembaga pemeringkat. Itu setidaknya tercermin dari pemeriksaan Altman terhadap Z-Score perusahaan sebelum krisis keuangan melanda Amerika Serikat di tahun 2008-2009. Tahun 2007, dia menemukan bahwa 50% dari perusahaan memiliki risiko kebangkrutan dengan median skor 1.81, setara dengan peringkat B. Namun, peringkat obligasi dari sekuritas terkait aset tertentu jauh lebih tinggi dari yang seharusnya.
Terlepas dari semua akurasi tersebut, beberapa orang mengkritik model tersebut.
- Model tergantung sampel yang diambil. Itu mungkin tidak akurat untuk perusahaan di negara yang berbeda. Di Indonesia, misalnya, akurasi model Altman Z -Score hanya sekitar 27.96% untuk perusahaan manufaktur yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
- Lingkungan bisnis dan persaingan juga terus berubah. Itu mengekspos kinerja keuangan dan tingkat kebangkrutan perusahaan. Meningkatnya persaingan global, misalnya, semakin menekan profitabilitas banyak perusahaan. Sehingga, menggunakan skor batas awal adalah tidak tepat.
- Model tidak memprediksi kapan perusahaan benar-benar bangkrut secara hukum.