Contents
Beberapa faktor mempengaruhi pengeluaran konsumsi. Pendapatan disposable adalah yang utama. Tanpa itu, tidak pemasukan uang untuk membeli produk. Faktor lainnya termasuk kepercayaan konsumen, kekayaan, ekspektasi pendapatan, inflasi dan suku bunga.
Mengapa perlu memahami faktor yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi?
Memahami tren atas faktor-faktor tersebut penting untuk memprediksi seberapa kuat pengeluaran konsumen di masa depan. Misalnya, perusahaan mengamatinya untuk mengetahui prospek permintaan terhadap produk mereka. Sementara itu, pemerintah seringkali mencari cara untuk menstimulus konsumsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga, dengan mengamati faktor penentu permintaan, pemerintah bisa mengambil kebijakan yang lebih efektif.
Di beberapa negara, pengeluaran konsumen merupakan kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Mereka berkontribusi signifikan terhadap pengeluaran agregat, direpresentasikan oleh PDB. Misalnya, di Indonesia, itu mencakup sekitar 54,42% dari PDB nominal di tahun 2021. Dan persentasenya relatif tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Sementara itu, di Amerika Serikat, persentasenya lebih tinggi, mencapai kisaran 60%.
Persentase tersebut menggarisbawahi tentang seberapa strategis pengeluaran konsumen bagi perekonomian. Sehingga, mendorong pertumbuhan ekonomi membutuhkan pengambil kebijakan untuk mendorong peningkatan pengeluaran konsumsi.
Ketika konsumsi meningkat, bisnis meresponnya dengan meningkatkan output karena melihat prospek permintaan yang kuat. Jika permintaan tumbuh lebih kuat, mereka meningkatkan investasi dan merekrut lebih banyak tenaga kerja. Akhirnya, itu mengarah kemakmuran di dalam perekonomian karena lebih banyak pendapatan dan pekerjaan tercipta.
Lantas, faktor apa saja yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi? Berikut adalah rinciannya:
- Pendapatan disposabel
- Pajak
- Kepercayaan konsumen
- Kekayaan konsumen
- Ekspektasi pendapatan
- Ekspektasi inflasi
- Suku bunga
Pendapatan disposabel
Pendapatan disposabel adalah kunci penentu bagi pengeluaran konsumsi. Tanpa pendapatan, tidak ada uang untuk membeli barang dan jasa.
Pendapatan disposabel mewakili uang yang tersisa setelah konsumen membayar pajak. Dengan kata lain, itu adalah pendapatan setelah pajak. Adapun, pendapatan bisa berasal dari gaji, bonus, lembur, komisi, dan cuti berbayar.
Kemudian, jika kita mengurangkan pendapatan disposabel dengan biaya hidup minimal – seperti makanan, obat-obatan, sewa atau hipotek , utilitas, asuransi, transportasi, dsb – kita mendapatkan pendapatan diskresioner.
Konsumen mengalokasikan pendapatan mereka untuk dua tujuan: konsumsi atau menabung. Sementara konsumsi memenuhi kebutuhan mereka saat ini, menabung memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang, misalnya di masa tua.
Secara umum, pendapatan berhubungan positif dengan pengeluaran konsumsi. Pendapatan yang lebih tinggi mengarah pada lebih banyak pengeluaran untuk konsumsi. Begitu juga sebaliknya, pendapatan yang lebih rendah mendorong konsumen mengurangi pengeluaran.
Pajak
Pajak mewakili iuran wajib yang dibayarkan oleh konsumen ke pemerintah. Konsumen harus memperhitungkannya terlebih dahulu sebelum mengalokasikan uang untuk belanja.
Pajak berhubungan terbalik dengan pendapatan, dan karena itu, dengan pengeluaran konsumsi. Ketika itu lebih tinggi, pendapatan disposabel turun. Sehingga, lebih sedikit uang yang tersedia untuk pengeluaran konsumsi.
Sebaliknya, ketika pemerintah memangkas tarif pajak, itu memberi konsumen lebih banyak pendapatan yang dapat dibelanjakan. Mereka memiliki lebih banyak uang untuk digunakan membeli barang dan jasa.
Kepercayaan konsumen
Pengeluaran konsumsi terkait erat dengan kepercayaan konsumen. Itu mempengaruhi kecenderungan konsumen untuk melakukan pembelian besar, terutama untuk barang-barang tahan lama, yang mana mereka biasanya membutuhkan lebih banyak pertimbangan dan mengandalkan pinjaman untuk pembelian.
Biasanya, kepercayaan konsumen terkait erat dengan prospek pendapatan dan pekerjaan mereka. Selain itu, ekspektasi mereka terhadap perekonomian juga berperan penting dalam membentuk keyakinan mereka.
Misalnya, ketika konsumen optimis dengan pendapatan dan pekerjaan, mereka lebih mungkin untuk membeli barang-barang dalam jumlah yang lebih besar. Selain itu, mereka berani membeli barang-barang tahan lama dan mengambil pinjaman untuk membiayai itu.
Sebaliknya, ketika konsumen pesimis, mereka cenderung berbelanja lebih sedikit. Mereka akan lebih berhemat sampai situasi membaik.
Pesimisme dan optimisme konsumen tersebut biasanya terkait erat dengan kondisi perekonomian. Selama ekspansi, konsumen cenderung optimis dengan pendapatan dan pekerjaan mereka karena perekonomian sedang makmur. Sebaliknya, selama resesi, mereka cenderung pesimis karena prospek pendapatan dan pekerjaan memburuk.
Kekayaan konsumen
Kekayaan konsumen mewakili total aset yang dimiliki konsumen setelah dikurangi dengan total kewajiban. Kadang, secara spesifik, kita menyebut itu sebagai kekayaan bersih.
Konsumen menyimpan kekayaan mereka dalam dua kelompok aset: aset riil dan aset keuangan. Aset riil termasuk tanah, properti dan logam mulia. Sedangkan, aset keuangan mencakup deposito bank, saham, obligasi, dan reksadana.
Konsumen menyimpan kekayaan mereka untuk bantalan keuangan di masa sulit atau untuk masa pensiun. Mereka menyisihkan uang mereka dengan menunda konsumsi saat ini. Mereka mengharapkan dapat memiliki kekayaan yang setidaknya cukup untuk menopang kebutuhan di masa depan.
Bagaimana kekayaan dan harga aset berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi?
Ketika harga aset meningkat, konsumen melihat kekayaan mereka naik. Mereka menjadi lebih optimis dan jika telah melebihi akumulasi kekayaan yang ditargetkan, katakanlah dalam satu tahun, mereka bisa menyisihkan pendapatan lebih sedikit untuk disimpan.
Sebaliknya, konsumen membelanjakan pendapatan lebih banyak untuk konsumsi. Mereka membeli produk yang mereka minati atau selama ini tertunda.
Singkat cerita, ketika harga aset naik, konsumen lebih percaya diri untuk berbelanja, mendorong pengeluaran yang lebih tinggi. Sebaliknya, penurunan harga aset membuat konsumen berbelanja lebih sedikit. Ekonom menyebut hubungan antara kenaikan harga aset dengan pengeluaran konsumsi sebagai efek kekayaan.
Ekspektasi pendapatan
Ketika konsumen optimis terhadap prospek pendapatan mereka di masa depan, mereka akan cenderung berbelanja lebih banyak. Misalnya, mereka mengambil pinjaman baru untuk karena mereka yakin masih dapat menghasilkan uang di masa depan untuk membayar cicilan.
Sebaliknya, ketika prospek pendapatan memburuk, mereka akan menunda pengeluaran beberapa barang, terutama barang tahan lama. Ketidakpastian pendapatan menyebabkan mereka mengkonsumsi lebih sedikit. Sebaliknya, mereka menghemat lebih banyak sebagai persiapan menghadapi situasi yang lebih buruk.
Ekspektasi inflasi
Ekspektasi terhadap harga di masa depan berperan penting dalam mempengaruhi keputusan belanja. Misalnya, anda sangat meminati sebuah produk. Dan anda memperkirakan harganya akan turun di bulan depan. Akibatnya, anda akan menunda pembelian saat ini dan akan membelinya di bulan depan. Sebaliknya, jika harga kemungkinan naik, anda segera membelinya sekarang sebelum harganya naik di bulan depan.
Dan secara umum, ekspektasi harga tersebut diwakili oleh ekspektasi inflasi. Inflasi mewakili kenaikan harga untuk produk yang mereka beli. Itu tidak hanya mewakili satu atau dua produk, melainkan sekeranjang produk yang dibeli. Dengan kata lain, itu adalah ukuran agregat untuk kenaikan harga.
Inflasi yang tinggi mengikis daya beli konsumen. Uang menjadi tidak bernilai. Dengan nominal uang yang sama, konsumen mendapatkan kuantitas yang lebih sedikit.
Sehingga, jika konsumen mengekspektasikan inflasi lebih tinggi di masa depan, mereka akan meningkatkan belanja saat ini. Sebaliknya, jika mereka mengekspektasikan inflasi akan jatuh (deflasi) mereka akan menunda pembelian.
Suku bunga
Suku bunga mewakili biaya untuk meminjam uang. Oleh karena itu, konsumen akan berpikir ulang untuk mengajukan pinjaman baru ketika suku bunga naik karena biayanya lebih mahal.
Barang-barang tahan lama seperti mobil adalah mahal untuk dibeli secara tunai. Harga mereka mungkin berkali lipat dibandingkan dengan pendapatan konsumen. Karena itu, konsumen seringkali membeli mereka dengan dibiayai pinjaman.
Karena suku bunga tinggi, biaya pinjaman menjadi lebih mahal. Sehingga, konsumen kemungkinan besar akan menunda pembelian. Apalagi, barang-barang tersebut relatif kurang esensial dan bukan merupakan kebutuhan primer. Mereka berpikir menunda pembelian lebih baik daripada harus membayar bunga yang tinggi, yang mana bisa mengganggu keuangan mereka.
Sebaliknya, ketika suku bunga turun, pengeluaran konsumsi untuk barang-barang tersebut akan cenderung meningkat. Konsumen bersedia mengambil pinjaman baru karena lebih murah.
Dan secara umum, suku bunga berhubungan secara positif dengan ketersedian kredit. Ketika suku bunga rendah, kredit lebih banyak tersedia. Dalam situasi ini, likuiditas di dalam perekonomian melimpah dan jumlah uang beredar meningkat. Kondisi sebaliknya berlaku ketika suku bunga tinggi.
Bacaan selanjutnya untuk Anda
- Pengeluaran Konsumsi: Jenis, Faktor Penentu, Dampak
- Pola Belanja Konsumen: Faktor Yang Mempengaruhi
- Faktor-Faktor Saja Yang Mempengaruhi Pengeluaran Konsumsi?
- Bagaimana Pengeluaran Konsumsi Mempengaruhi Perekonomian