Contents
Apa itu: Kekakuan upah (wage rigidity) merujuk pada situasi di mana upah tidak sensitif dalam menanggapi perubahan dalam permintaan-penawaran di pasar tenaga kerja. Ketika tingkat pengangguran tinggi, upah tidak turun meski permintaan tenaga kerja menurun dan pasar menghadapi lebih banyak tenaga kerja yang tersedia. Sebaliknya, ketika tingkat pengangguran turun, upah tidak segera naik meski permintaan meningkat dan pasar tenaga kerja lebih ketat.
Beberapa alasan menjelaskan kekakuan upah, termasuk upah minimum dan kontrak kerja. Misalnya, perusahaan tidak bisa serta merta menyesuaikan upah ke bawah selama resesi. Mereka harus patuh terhadap aturan upah minimum. Akibatnya, mereka tidak bisa menurunkan upah di bawah upah minimum meski perekonomian menghadapi pengangguran yang tinggi.
Apa yang terjadi jika upah adalah kaku?
Upah menjadi penyumbang bagi biaya operasi selain input lain seperti bahan baku. Ketika upah naik, biaya meningkat. Akibatnya, itu menekan profitabilitas. Sebaliknya, jika upah turun, biaya operasi menurun, meningkatkan profitabilitas.
Selama masa sulit, seperti resesi, banyak perusahaan tidak dapat mengurangi upah. Akibatnya, mereka harus menanggung biaya operasi yang lebih tinggi, menekan keuntungan mereka, mengasumsikan pendapatan dan biaya lain tidak berubah. Misalnya, idealnya perusahaan memangkas upah mereka $100 setahun karena resesi membawa pasar tenaga kerja menghadapi ekses penawaran.
Katakanlah, resesi berlangsung dua tahun. Sehingga, perusahaan seharusnya bisa memangkas biaya upah sebesar $200 untuk mendukung keuntungan. Tapi, karena upah kaku, mereka tidak bisa memangkasnya. Akibatnya, keuntungan mereka berkurang $200 selama dua tahun tersebut.
Situasi tersebut mungkin menjadi pertimbangan bagi bisnis setelah perekonomian pulih dari resesi. Mereka tidak segera menaikkan upah meski melihat peningkatan permintaan membuat kebutuhan untuk merekrut tenaga kerja baru lebih tinggi. Mereka ingin mengkompensasi pemotongan upah terpendam ($200) dengan tidak segera menaikkannya. Situasi ini melandasi pertumbuhan upah yang relatif lebih lambat selama pemulihan.
Apa itu kekakuan ke bawah dan kekakuan ke atas?
Kekakuan ke bawah berarti upah sulit untuk turun ketika perekonomian memburuk. Idealnya, selama resesi, bisnis memangkas upah karena tingkat pengangguran meningkat. Pasar tenaga menghadapi penurunan permintaan tenaga kerja dan pada saat yang sama, menghadapi lebih banyak pekerja yang tersedia untuk direkrut.
Kekakuan ke atas berarti upah tidak segera naik mengikuti situasi di pasar tenaga kerja. Selama perekonomian pulih menuju ekspansi, permintaan terhadap tenaga kerja meningkat. Namun, bisnis tidak segera menaikkan upah untuk merespon pasar tenaga kerja yang lebih ketat.
Bagaimana kekakuan upah berhubungan dengan tingkat pengangguran?
Dalam model penawaran-permintaan, upah ditentukan oleh ekuilibrium di pasar tenaga kerja. Sehingga, upah akan turun ketika pasar menghadapi lebih banyak penawaran sebagaimana hukum penawaran. Sebaliknya, upah naik ketika permintaan tenaga kerja meningkat.
Dari model tersebut, upah seharusnya turun ketika tingkat pengangguran meningkat. Pasar menghadapi lebih banyak tenaga kerja yang tersedia (penawaran meningkat).
Sebaliknya, upah naik ketika tingkat pengangguran turun. Pasar tenaga kerja menjadi lebih ketat dan menghadapi penawaran yang lebih sedikit.
Tapi, hubungan itu samar sejak 2008. Upah tidak segera merespon terhadap perubahan dalam permintaan-penawaran di pasar tenaga kerja. Upah cenderung kaku untuk bergerak turun selama resesi meski perekonomian menghadapi lebih banyak penawaran akibat peningkatan tajam pengangguran. Begitu juga sebaliknya, upah juga cenderung kaku selama pemulihan menuju ekspansi meski pasar tenaga kerja lebih ketat akibat tingkat pengangguran menurun secara substansial.
Ekonom kemudian berusaha menjelaskan fenomena tersebut. Misalnya, perusahaan enggan mengurangi upah selama resesi karena terikat kontrak. Sehingga, mereka tidak seenak hati memangkas upah hanya untuk menurunkan biaya dan meningkatkan menjaga profitabilitas.
Di sisi lain, pekerja enggan untuk menerima pemotongan upah selama resesi. Mereka mungkin mengancam mogok jika perusahaan menurunkan upah. Mereka bisa melakukan ancaman tersebut karena memiliki daya tawar yang kuat, misal karena tergabung dalam serikat buruh.
Apa yang terjadi jika upah tidak kaku?
Jika upah nominal tidak kaku atau fleksibel, itu akan mengikuti perubahan dalam tingkat harga. Jika tingkat harga naik (inflasi), daya beli upah nominal turun. Akhirnya, pekerja akan meminta upah nominal yang lebih tinggi untuk mengkompensasi penurunan daya beli. Sehingga, upah riil relatif tidak banyak berubah.
Begitu juga, ketika tingkat harga menurun selama resesi, upah nominal juga segera turun. Upah yang fleksibel membuat pasar tenaga kerja menghadapi ekses penawaran, mendorong turun upah ekuilibrium. Sebagai hasilnya, upah riil juga tidak banyak berubah dalam situasi ini.
Fenomena di atas menjelaskan mengapa perubahan dalam upah riil relatif solid selama resesi dan pemulihan ekonomi. Meski upah nominal berubah, namun, upah riil cenderung kaku untuk berubah.
Apa implikasinya? Karena upah nominal merespon secara proporsional perubahan harga, kenaikan tingkat harga tidak meningkatkan margin keuntungan naik. Begitu juga, ketika tingkat harga naik, keuntungan mereka juga tidak berubah karena biaya tenaga kerja juga ikut naik. Konsekuensinya, perubahan dalam tingkat harga tidak meng insentif dan men-disinsentif mereka untuk mengubah output.
Sebaliknya, jika upah kaku, perusahaan mendapatkan margin keuntungan lebih tinggi ketika harga naik karena biaya tenaga kerja tidak berubah. Akhirnya, itu mendorong mereka untuk meningkatkan output untuk meraup lebih banyak keuntungan. Begitu juga sebaliknya, ketika tingkat harga turun, mereka menghadapi peningkatan tekanan pada margin keuntungan karena upah tidak turun. Mereka akhirnya mereka memangkas output untuk mempertahankan profitabilitas.
Teori netralitas uang
Menurut teori netralitas uang, perubahan dalam jumlah uang beredar hanya mempengaruhi harga dan variabel nominal. Sebaliknya, itu tidak berdampak pada variabel riil seperti upah riil, pengangguran dan output.
Sehingga, menurut teori ini, kebijakan moneter – kebijakan untuk merubah jumlah uang beredar – hanya akan menghasilkan perubahan dalam harga (inflasi) tapi tidak berdampak pada output perekonomian dan tenaga kerja. Begitu juga, meski upah nominal naik, tapi upah riil relatif tidak berubah.
Apa yang terjadi dengan upah selama siklus bisnis?
Upah tidak responsif dalam menanggapi perubahan dalam permintaan dan penawaran tenaga kerja. Karena pasar tenaga kerja dipengaruhi oleh siklus yang sedang terjadi, kita bisa katakan, upah cenderung kaku selama siklus bisnis.
Selama resesi, perekonomian menghadapi kekakuan upah nominal ke bawah. Sehingga, itu tidak turun meski perekonomian menghadapi penurunan tingkat harga dan peningkatan pengangguran. Kekakuan membuat upah tetap tinggi, mengurangi permintaan akan tenaga kerja.
Resesi membuat perusahaan menghadapi penurunan penjualan. Akibatnya, pendapatan mereka menurun. Dikombinasikan dengan kekakuan upah untuk turun, bisnis menghadapi tekanan pada profitabiltias mereka. Akhirnya, situasi ini memaksa mereka untuk memangkas tenaga kerja, membuat pasar tenaga kerja menghadapi ekses penawaran dan lebih banyak pengangguran di dalam perekonomian.
Sebaliknya, selama pemulihan, perekonomian menghadapi kekakuan upah nominal ke atas. Ini mencegah bisnis segera menaikkan upah meski menghadapi peningkatan kebutuhan terhadap lebih banyak tenaga kerja untuk menaikkan output. Akibatnya, upah lambat untuk naik meski tingkat pengangguran menurun seiring dengan peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja.
Apa penyebab utama kekakuan upah?
Ekonom menawarkan beberapa alasan untuk menjelaskan kekakuan upah. Tiga alasan yang dibahas di sini adalah:
- Kontrak pekerja-pemberi kerja
- Upah minimum
- Teori upah efisiensi
Kontrak kerja
Perusahaan tidak serta merta merevisi kontrak mereka untuk menanggapi situasi bisnis. Biasanya, mereka mengikat upah dalam kontrak kerja, yang mana berlaku untuk untuk beberapa tahun ke depan.
Selain itu, perusahaan umumnya menghindari pemotongan upah nominal. Pemangkasan dapat menjatuhkan moral pekerja yang ada, menurunkan produktivitas mereka. Ini bisa membawa lebih banyak tekanan pada profitabilitas mereka.
Kemudian, kontrak kerja juga menjelaskan kekakuan upah riil. Itu seringkali diindeks untuk memperhitungkan kenaikan inflasi. Misalnya, di Amerika Serikat, itu melalui Cost-Of-Living Adjustment (COLA). Sehingga, upah nominal mengikuti perubahan dalam inflasi, membuat upah riil tetap stabil.
Selain itu, perubahan upah riil juga relatif lambat karena kontrak berlaku untuk beberapa waktu. Itu berubah hanya ketika kontrak baru dinegosiasikan.
Upah minimum
Upah minimum adalah pembayaran terendah yang bisa diberikan oleh perusahaan ke pekerja mereka. Perusahaan tidak bisa membayar pekerja lebih rendah daripada itu.
Upah minimum adalah contoh price floor. Pemerintah menetapkannya di atas upah ekuilibrium untuk mencegah bisnis memberikan upah terlalu rendah. Upah tersebut dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan layak bagi pekerja.
Tapi, karena ditetapkan di atas upah ekuilibrium, pasar tenaga kerja menghadapi ekses penawaran. Di tingkat upah ini, lebih sedikit pekerja yang diminta oleh bisnis daripada yang disediakan oleh pasar tenaga kerja.
Kemudian, ketika resesi, penciptaan lapangan kerja turun. Permintaan terhadap tenaga kerja menurun. Akibatnya, tingkat pengangguran meningkat dan pasar menghadapi lebih banyak tenaga kerja yang ditawarkan. Idealnya, upah pasar seharusnya turun. Tapi, upah minimum mencegah itu terjadi.
Teori upah efisiensi
Teori upah efisiensi menggarisbawahi produktivitas tenaga kerja tergantung pada upah yang diberikan. Jika dibayar lebih tinggi, pekerja menjadi lebih produktif dan sebaliknya berlaku. Karena itu, perusahaan lebih suka untuk membayar upah lebih tinggi untuk mendapatkan produktivitas yang lebih tinggi dari pekerja mereka.
Teori efisiensi upah menjelaskan mengapa perusahaan tidak akan menurunkan upah selama resesi. Penurunan upah hanya akan membawa produktivitas yang lebih rendah. Akibatnya, mereka mendapatkan output per unit pada biaya per unit yang lebih tinggi, menekan margin keuntungan. Karena alasan ini, mereka lebih memilih untuk memberhentikan pekerja daripada menurunkan upah.