Contents
Contoh faktor sosial budaya adalah nilai, keyakinan, dan sikap. Kelas sosial, gaya hidup konsumen, kebiasaan membeli, seksualitas, selera, dan preferensi adalah contoh lainnya.
Faktor lainya yang terkait erat adalah faktor demografi, yang mana merujuk pada populasi dan komposisinya berdasarkan variabel seperti jenis kealmi, usia, pendidikan, agam, etnis dan ras. Faktor sosial budaya sering digunakan secara bergantian dengan faktor sosial demografi.
Lingkungan sosial budaya tidak hanya bervariasi antar kelompok. Tapi, itu juga terus berkembang dan berubah, memunculkan peluang dan ancaman bagi bisnis. Oleh karena itu, perusahaan perlu memantau tren-tren tersebut dan mempertimbangkan implikasi strategisnya terhadap mereka.
Apa itu faktor sosial budaya?
Faktor sosio kultural atau sosial budaya (socio-cultural environment) merujuk pada elemen-elemen di sekitar sikap, perilaku, dan nilai-nilai dalam masyarakat secara keseluruhan. Tren dan perkembangan mereka berkaitan erat dengan populasi, gaya hidup, budaya, selera, adat dan tradisi. Faktor-faktor tersebut dibuat oleh masyarakat dan seringkali, diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Jika kita memasukkan faktor populasi dan komposisinya, kita mendapatkan faktor sosial demografi. Kata “demografi” berkaitan dengan populasi dan strukturnya.
Ketika kita membahas struktur populasi/demografi, kita merujuk pada komposisi populasi berkaitan dengan aspek seperti:
- Jenis kelamin
- Usia
- Etnis
- Ras
- Bahasa
- Pendidikan
- Pekerjaan
- Pendapatan
- Ukuran keluarga
- Agama
Populasi terus tumbuh. Begitu juga, komposisinya juga berubah. Faktor-faktor berikut mempengaruhi perubahan tersebut:
- Tingkat kelahiran
- Tingkat kematian
- Tingkat imigrasi
Mengapa faktor sosial budaya penting?
Mari ambil beberapa alasan untuk menjelaskan mengapa faktor sosial budaya (sosial demografi) penting. Pertama, perusahaan menggunakannya sebagai dasar untuk penargetan pemasaran mereka.
Penargetan pemasaran membutuhkan perusahaan untuk memeriksa kepada siapa produk harus dijual. Mereka menggunakan variabel demografi untuk mensegmentasi pasar dan kemudian, memilih segmen target.
Di awal, perusahaan mengelompokkan konsumen berdasarkan variabel seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, ukuran keluarga, pendapatan, atau pendidikan. Kemudian, mereka memilih segmen tertentu sebagai target.
Kedua, faktor sosial demografi mempengaruhi potensi pertumbuhan di masa depan. Struktur populasi menjadi pertimbangan bisnis ketika berekspansi ke luar negeri. Misalnya, perusahaan menargetkan negara-negara dengan usia produktif dominan sebagai pasar mereka.
Negara-negara tersebut menawarkan potensi permintaan yang tinggi. Selain, mereka juga menyediakan tenaga kerja produktif.
Ketiga, perubahan dalam faktor sosial budaya mengekspos peluang dan ancaman. Perubahan tersebut mempengaruhi strategi dan cara bisnis memasarkan produknya.
Ambil perubahan preferensi sebagai contoh. McDonald’s awalnya tidak menawarkan salad atau frappes. Perusahaan fokus pada kombo klasik hamburger dan kentang goreng.
Namun, preferensi pelanggan berubah dan menginginkan makanan yang lebih sehat. McDonald’s kemudian merespon perubahan tersebut dan beradaptasi. Perusahaan mulai menawarkan alternatif yang sehat, seperti salad, buah-buahan, dan oatmeal.
Apa saja contoh faktor sosial budaya?
Faktor sosial budaya mempengaruhi perasaan, perilaku, sikap, nilai, kepercayaan, dan interaksi orang. Faktor-faktor ini membentuk pembangunan sosial dan perubahan budaya.
Apa saja variabel di lingkungan sosial budaya? Mengapa mereka penting? Mari kita ambil beberapa contoh.
Jumlah dan pertumbuhan populasi. Penambahan populasi tidak hanya menyediakan lebih banyak tenaga kerja dan permintaan atas barang dan jasa, tetapi juga dapat menjadi masalah sosial seperti kejahatan dan kemiskinan, terutama ketika ketersediaan lapangan kerja tidak mencukupi.
Komposisi usia. Di beberapa negara, populasi usia produktif mendominasi dan menjadi peluang bagi bisnis karena menyediakan potensi permintaan barang dan jasa yang signifikan. Namun, di negara lain, seperti di Jepang, populasi tua mendominasi, yang mana memunculkan peluang sekaligus tantangan bagi perekonomian dan perusahaan.
Struktur rumah tangga dan keluarga. Populasi dapat dipecah berdasarkan beberapa kriteria seperti satu orang rumah tangga, rumah tangga keluarga tunggal, rumah tangga keluarga tunggal dengan satu anak, rumah tangga keluarga tunggal dengan lebih dari satu anak, dan seterusnya. Struktur tersebut mempengaruhi apa yang mereka belanjakan setiap bulan.
Pekerjaan. Misalnya, pekerja kerah putih memiliki pengeluaran spesifik dan berbeda dari pekerja kerah biru. Mereka membutuhkan lebih banyak pelatihan soft skill daripada hard skill.
Kekayaan dan kelas sosial. Orang-orang dari kelas sosial yang berbeda memiliki pola konsumsi yang berbeda. Misalnya, kelas atas memiliki nilai yang berbeda dan citra diri untuk mencerminkan posisi mereka di masyarakat. Selain itu, kelas atas umumnya menghabiskan lebih banyak uang untuk jasa daripada kelas bawah.
Geografi. Populasi mungkin terkonsentrasi di wilayah geografis tertentu, misalnya di desa di mana lahan pertanian subur tersedia atau di kawasan industri. Mereka yang tinggal di desa mungkin lebih sedikit membutuhkan barang-barang modern daripada mereka yang tinggal di daerah perkotaan.
Etnisitas. Beberapa negara, seperti Indonesia, memiliki beragam suku dan etnis yang berbeda. Ini berimplikasi pada berbagai aspek seperti bahasa, budaya, kebiasaan dan selera.
Budaya. Nilai dan kebiasaan individu dapat berubah individu melalui kontak dengan budaya tertentu. Anda bisa mengambil mengamati bagaimana budaya K-pop mempengaruhi anak mudah di seluruh dunia. Itu mempengaruhi konsumen dengan mendorong mereka membeli item-item yang berbau K-pop atau yang diinspirasi oleh artis.
Kebiasaan. Kecenderungan atau cara seseorang berperilaku atau biasa tunjukkan dalam menghadapi situasi yang diberikan. Kebiasaan mempengaruhi apa yang dibeli dan apa yang dihindari.
Keyakinan dan nilai-nilai. Keyakinan merujuk pada apa yang kita rasakan atas sesuatu atau seseorang. Sedangkan, nilai-nilai berakar dari keyakinan tapi relatif bertahan lama dan menjadi panduan untuk perilaku yang sesuai dengan budaya.
Nilai-nilai sosial mempengaruhi pembelian. Misalnya, individu mungkin membeli produk untuk menimbulkan citra sosial daripada kinerja fungsionalnya.
Bagaimana lingkungan sosiokultural mempengaruhi bisnis
Perubahan dalam beberapa faktor sosial budaya mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun. Namun, yang lain mungkin berubah semakin cepat dan dinamis, misalnya berkat perubahan teknologi, yang mana memungkinkan kita mengadopsi budaya asing lebih cepat.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perubahan tersebut berimplikasi pada peluang dan ancaman terhadap perusahaan. Dan akhirnya, perubahan tersebut mempengaruhi kesuksesan di masa depan.
Peluang dan ancaman tersebut bekerja melalui dampaknya terhadap tiga aspek berikut:
- Permintaan pasar
- Strategi di masa depan
- Sumber daya manusia di dalam organisasi
Dampak terhadap strategi bersaing
Perubahan sosial dan budaya menantang perusahaan untuk menemukan cara untuk yang lebih efektif untuk beradaptasi. Mereka harus fleksibel dalam mengembangkan strategi bersaing.
Perusahaan tidak hanya memikirkan dampaknya terhadap kebutuhan dan keinginan konsumen. Tapi, mereka juga harus memeriksa bagaimana pesaing merespon perubahan tersebut.
Sehingga, mempertimbangkan perubahan dalam pola permintaan konsumen dan peta persaingan memmungkinkan perusahaan untuk menemukan strategi yang lebih efektif. Sehingga, perusahaan tidak hanya beradaptasi dengan perubahan pola permintaan konsumen. Tapi, mereka juga bisa meresponnya dengan efektif melalui strategi yang lebih baik daripada pesaing.
Misalnya, konsumen telah semakin online. Preferensi mereka dalam berbelanja berubah. Mereka meninggalkan belanja tradisional ke belanja online.
Peritel konvensional mungkin gagal beradaptasi dengan perubahan tersebut. Mereka tetap berpegang pada model bisnis “brick and mortar” karena yakin konsumen akan tetap setia mengunjungi toko mereka.
Yang lain mungkin beradaptasi dengan mengembangkan saluran online. Tapi, mereka melakukannya dengan cara-cara lama. Akhirnya, mereka gagal bersaing.
Yang lain mungkin melakukannya dengan lebih agresif. Mereka mentransformasi bisnis secara cepat dengan mengundang investor untuk berpartisipasi, mengadopsi teknologi baru, dan mereorganisasi operasi dan sumber daya manusia. Sehingga, mereka tidak hanya siap secara teknologi. Tapi, organisasi mereka, termasuk budaya perusahaan, juga fleksibel menuju perubahan operasi dan model bisnis.
Dampak terhadap pola permintaan
Ambil perubahan dalam nilai-nilai konsumen sebagai contoh. Peningkatan kesadaran lingkungan mendorong perubahan dalam nilai-nilai keseharian konsumen. Misalnya, mereka hanya bersedia berurusan dengan perusahaan-perusahan dengan nilai-nilai serupa.
Perubahan nilai tersebut akhirnya merubah perilaku pembelian. Konsumen semakin meninggalkan produk konvensional.
Sekarang ini, perubahan-perubahan tersebut telah memaksa perusahan-perusahan raksasa untuk mentransformasi bisnis mereka. Unilever adalah contohnya. Perusahaan memastikan produk mereka aman bagi konsumen dan berdampak positif bagi lingkungan.
Perubahan tersebut membutuhkan Unilever untuk mengubah kebijakan dan praktik bisnisnya. Misalnya, perusahaan hanya bersedia membeli input dari pemasok dengan nilai-nilai yang saham. Selain itu, perusahaan menargetkan nol emisi pada operasi mereka di 2030.
Ambil usia sebagai contoh lain untuk mendalami bagaimana perubahan dalam faktor sosial budaya mempengaruhi pola pengeluaran. Perubahan usia jelas mempengaruhi perubahan pola pengeluaran. Apa yang anak-anak butuhkan tidak akan sama dengan remaja atau orang tua.
Jika perubahan usia tersebut terjadi pada skala luas, dampaknya akan signifikan terhadap bisnis. Misalnya, populasi yang menua membutuhkan lebih banyak produk seperti perawatan kesehatan. Selain itu, mereka cenderung lebih bijak dalam mengeluarkan uang daripada orang-orang muda.
Dampak terhadap sumber daya manusia di dalam organisasi
Perubahan dalam faktor sosial budaya juga mempengaruhi sumber daya manusia di dalam organisasi. Misalnya, tingkat pendidikan rendah menyulitkan perusahaan untuk menemukan tenaga kerja berkualitas. Sehingga, itu membutuhkan peningkatan pendidikan untuk memperbaiki kualitas dan meningkatkan pasokan mereka.
Selain itu, perubahan tersebut juga bisa mempengaruhi perubahan dalam budaya di dalam organisasi. Bagaimanapun, sikap, perilaku, dan nilai di perusahaan akan sangat berakar dari mana karyawan berasal dan apa latar belakang mereka.
Misalnya, membungkuk kepada mereka yang lebih senior adalah sebagai salam dan unutk menunjukkan rasa hormat. Dan budaya tersebut berakar kehidupan sehari-hari masyarakat di Jepang dan sudah lazim dalam budaya perusahaan Jepang.