Contents
Apa itu: Dutch Disease adalah istilah yang menggambarkan fenomena ekonomi ketika eksploitasi sumber daya alam memicu kelemahan di sektor lain, terutama manufaktur. Peningkatan pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam akan mengakibatkan apresiasi nilai tukar, membuat produk dalam negeri, terutama dari sektor manufaktur, kurang kompetitif di pasar internasional.
Sejarah Dutch disease
Istilah ini pertama kali muncul di majalah The Economist pada tahun 1977. Majalah tersebut menganalisis situasi ekonomi Belanda setelah menemukan ladang gas alam yang besar pada tahun 1959.
Saat itu, perekonomian Belanda meningkatkan pendapatannya dari ekspor gas alam. Hal ini mengakibatkan apresiasi mata uang yang signifikan karena masuknya modal secara besar-besaran ke sektor ini.
Namun karena fokus pada gas bumi, sektor lain kurang berkembang. Pada akhirnya, tingkat pengangguran lebih tinggi di negara ini, dan industri manufaktur menurun.
Penyebab Dutch disease
Dutch disease umumnya dikaitkan dengan negara-negara yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor sumber daya alam. Contohnya Indonesia.
Fenomena ini merupakan paradoks dari konsep keunggulan komparatif. Dalam model keunggulan komparatif, setiap negara harus berspesialisasi dalam industri dengan keunggulan komparatif dibandingkan negara lain.
Namun, keuntungan tersebut tidak bekerja dengan baik dengan negara-negara pengekspor sumber daya.
Negara-negara ini mencoba mengeksploitasi sumber daya alam ketika harga komoditas global meningkat. Mereka mengabaikan perkembangan sektor lain.
Harga komoditas tidak dapat menopang perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Itu bisa langsung turun ketika permintaan di pasar global melemah, misalnya karena resesi.
Ledakan tiba-tiba dalam eksploitasi sumber daya alam meningkatkan permintaan tenaga kerja di sektor ini. Tenaga kerja biasanya berasal dari industri seperti manufaktur.
Dan, kemudian harga komoditas turun, mereka menjadi pengangguran karena perusahaan memotong pekerjaan. Mereka juga mungkin tidak dapat secara fleksibel pindah ke pekerjaan lain karena keterampilan yang tidak memadai. Oleh karena itu, mereka mungkin menganggur lebih lama.
Perekonomian kemudian mengalami penurunan tajam dalam pendapatan, yang tidak dapat dikompensasi oleh pertumbuhan pesat di sektor manufaktur yang sudah melemah. Efeknya mungkin berlangsung lama atau mungkin singkat, tergantung pada tingkat keparahannya.
Contoh Dutch disease
Beberapa negara mungkin menderita sindrom yang sama, seperti Meksiko, yang mengalami ledakan minyak di tahun 70-an dan awal 80-an.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Ledakan harga komoditas pasca krisis 2008-2009 membuat Indonesia terlalu fokus pada sektor berbasis komoditas. Industri hilir komoditas belum berkembang.
Kemudian, ketika harga komoditas turun pada 2015, perekonomian Indonesia tertahan di angka 5%. Penerimaan pajak tidak tepat sasaran karena selama ini bergantung pada pungutan dari sektor komoditas.
Efek selanjutnya adalah deindustrialisasi. Kontribusi sektor manufaktur menurun dari tahun ke tahun. Hal ini membuat berbagai barang manufaktur kurang kompetitif di pasar global.
Bagaimana menghindari Dutch disease
Ada berbagai pilihan untuk menghadapi fenomena Dutch Disease. Empat di antaranya adalah:
- Memperlambat laju apresiasi mata uang domestik
- Diversifikasi ekonomi
- Menanam tabungan nasional
- Investasi dalam faktor produksi yang berkualitas
Memperlambat laju apresiasi nilai tukar
Perlambatan apresiasi mata uang adalah strategi yang lebih mudah diakses dan layak untuk mencegah efek buruk dari fenomena Dutch disease. Misalnya, langkah ini dapat dicapai dengan menggunakan pendapatan yang dihasilkan dari ekspor sumber daya alam untuk investasi.
Salah satu metode umum untuk melakukan ini adalah menciptakan dana kekayaan negara (SWF). SWF akan mensterilkan investasi besar ke dalam sektor yang sedang booming dengan menyimpan sebagian dari pendapatan baru ini di luar negeri. Selanjutnya, negara dapat memutuskan untuk secara perlahan memulangkan tabungan tersebut untuk berbagai tujuan, misalnya untuk pembangunan infrastruktur.
Karena bertujuan untuk menstabilkan arus masuk modal dan mencegah apresiasi mata uang yang signifikan, SWF biasanya berinvestasi di luar negeri dalam mata uang non-domestik. Misalnya, Norwegia mentransfer sebagian dari pendapatan yang mengalir dari penjualan minyak ke aset dalam mata uang asing.
Ada banyak contoh SWF. Diantaranya adalah Dana Masa Depan Pemerintah Australia, Dana Pensiun Pemerintah di Norwegia, dana pembangunan nasional Iran, Dana Stabilisasi Federasi Rusia, Dana Minyak Negara Azerbaijan, dan Dana Perwalian Tabungan Warisan Alberta dari Alberta di Kanada. Anda dapat melihat peringkat SWF di beranda Sovereign Wealth Fund Institute.
Diversifikasi ekonomi
Diversifikasi ekonomi merupakan strategi selanjutnya untuk meminimalisir dampak negatif Dutch Disease. Namun, strategi seperti itu membutuhkan pendekatan fundamental yang mungkin tidak cocok untuk setiap negara. Juga, strategi ini biasanya memakan waktu lama.
Diversifikasi ekonomi dapat dicapai dengan mensubsidi sektor-sektor ekonomi yang tertinggal. Pemerintah juga dapat menetapkan tarif untuk membatasi impor dan mendukung produsen dalam negeri, terutama di sektor non-komoditas.
Menanam tabungan nasional
Pendekatan lain adalah menumbuhkan tabungan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah yang mendorong konsumen dan perusahaan untuk menabung lebih banyak atau mengurangi defisit anggaran pemerintah (atau meningkatkan surplus).
Peningkatan tabungan nasional mengurangi ketergantungan pada investasi asing dalam pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi tingkat tabungan suatu negara, semakin besar dana pinjaman.
Investasi dalam kualitas faktor produksi
Pemerintah juga dapat menginvestasikan sebagian pendapatannya untuk meningkatkan kuantitas atau kualitas faktor produksi. Misalnya, melalui:
- Pendidikan dan Pelatihan
- Penelitian dan Pengembangan
- Infrastruktur
Hal ini pada akhirnya meningkatkan kapasitas produktif perekonomian. Pendidikan dan pelatihan, misalnya, meningkatkan produktivitas melalui peningkatan keterampilan. Ini juga meningkatkan mobilitas tenaga kerja.
Infrastruktur seperti jalan dan kereta api juga penting untuk mengurangi biaya logistik. Itu pada akhirnya industri manufaktur untuk tetap kompetitif di pasar internasional.