Contents
Apa itu: Daya beli uang (purchasing power of money) adalah kemampuan sebuah mata uang ketika anda konversi dengan barang dan jasa. Dengan kata lain, itu adalah tingkat konversi uang terhadap barang dan jasa. Istilah lain daya beli uang adalah nilai riil uang.
Daya beli uang adalah indikator penting dalam membuat keputusan. Jika daya beli turun, anda mendapat lebih sedikit produk dengan menggunakan jumlah uang yang sama seperti sebelumnya. Sebaliknya, jika daya beli naik, anda mendapat lebih banyak produk.
Menghitung daya beli uang plus contoh
Menghitung daya beli uang relatif mudah. Anda cukup membagi kuantitas yang anda dapatkan dengan harga yang anda bayar.
Mari ambil contoh sederhana.
Dua tahun lalu, anda membeli sepatu dan membayar Rp100. Sekarang anda mengunjungi toko yang sama untuk membeli sepatu tersebut. Harga sepatu ternyata naik menjadi Rp200. Dalam kasus ini, daya beli anda turun dari 1/100 menjadi 1/200.
Ambil contoh lainnya. Sebuah perusahaan membeli 1 ton semen pada harga Rp40 per ton. Selanjutnya, pada tahun berikutnya, perusahaan membeli 1 ton semen pada harga Rp50. Dalam hal ini, kita melihat daya beli uang perusahan turun dari 0,25 (1/40) menjadi 0,2 (1/50).
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi daya beli uang
Sebagaimana dalam dua contoh di atas, penentu utama daya beli uang adalah harga. Daya beli uang turun seiring dengan naiknya harga. Dan, di tingkat agregat, kita menggunakan istilah tingkat harga untuk mewakili rata-rata harga berbagai barang dan jasa di dalam perekonomian. Naiknya tingkat harga kita sebut sebagai inflasi.
Pengaruh inflasi terhadap daya beli uang
Seperti dalam contoh sebelumnya, daya beli berkorelasi negatif dengan harga. Ini berarti ketika harga naik, daya beli uang turun. Dan sebaliknya, ketika harga turun, daya beli naik.
Secara agregat, indikator kenaikan harga adalah tingkat inflasi. Jadi, kesimpulannya, inflasi mengurangi daya beli uang. Tingkat inflasi dapat kita amati dari perubahan dari waktu ke waktu sejumlah indeks harga, seperti Indeks Harga Konsumen, Indeks Harga Produsen, dan Indeks Harga Grosir.
Salah satu cara untuk memikirkan daya beli adalah sederhana. Bayangkan gaji anda sama dengan gaji ayah anda 20 tahun yang lalu. Berapa banyak yang anda dapatkan dengan uang itu sekarang?
Ya, anda akan mendapatkan barang yang sedikit. Itu terjadi karena inflasi (kenaikan harga barang) terus menerus menggerogoti daya beli uang.
Jika inflasi relatif stabil rendah, penurunan daya beli uang mungkin tidak akan signifikan terasa. Tapi, jika inflasi tiba-tiba melonjak tinggi, daya beli uang dengan cepat menguap.
Kondisi di mana inflasi begitu tinggi kita sebut sebagai hiperinflasi. Itu adalah salah satu ancaman yang sering menghancurkan ekonomi. Ketika hiperinflasi berlangsung, tingkat harga bisa naik 1.000.000% dalam satu tahun sebagaimana terjadi di Venezuela pada tahun 2018. Kondisi semacam itu dapat membawa perekonomian menuju krisis, tidak hanya ekonomi tetapi juga krisis kemanusian. Jumlah orang miskin melonjak drastis, dan itu mungkin mengarah ke kerusuhan sosial dan kejahatan.
Hiperinflasi terjadi karena jumlah uang beredar meningkat drastis dan tidak diimbangi dengan jumlah barang dan jasa dalam perekonomian. Salah satu penyebabnya adalah pemerintah mencetak uang secara berlebihan, mungkin untuk membayar utang atau untuk perang. Sebagai akibatnya, semakin banyak uang mengejar lebih sedikit barang.
Dampak perubahan daya beli uang
Daya beli mempengaruhi setiap aspek ekonomi, mulai dari konsumsi rumah tangga, investasi bisnis hingga kemakmuran perekonomian secara keseluruhan. Ketika daya beli uang turun, konsekuensi ekonomi negatif yang serius muncul, termasuk:
- Meningkatnya biaya memproduksi barang dan jasa. Perusahaan harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk membeli bahan baku dan membayar pekerja.
- Kenaikan biaya hidup. Rumah tangga harus mengeluarkan uang yang lebih banyak daripada sebelumnya untuk mendapatkan barang yang sama. Untuk mengkompensasi kenaikan tersebut, konsumen harus memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Dan, tentu saja, itu tidak mudah.
- Lonjakan suku bunga. Bank sentral biasanya akan menaikkan suku bunga untuk memoderasi inflasi yang parah. Kenaikan suku bunga meningkatkan pembayaran bunga dan pokok utang.
Menyesatkan angka pendapatan perusahaan
Katakanlah, sebuah perusahaan melaporkan angka pertumbuhan pendapatan yang tinggi. Pada saat yang sama, inflasi juga melonjak.
Hanya dengan melihat pertumbuhan tersebut, anda mungkin akan mengambil kesimpulan yang menyesatkan.
Sebagaimana kita tahu, pendapatan adalah perkalian antara volume dan harga jual. Dalam kasus ini, inflasi melonjak. Oleh karena itu, sebelum mengambil kesimpulan, anda harus mengamati apakah pertumbuhan pendapatan disebabkan oleh kenaikan harga jual atau volume penjualan.
Idealnya, pertumbuhan tinggi pendapatan berasal dari kenaikan volume penjualan karena menunjukkan kesuksesan perusahaan dalam memasarkan produksinya.
Inflasi juga dapat menyesatkan angka laba yang dilaporkan perusahaan. Salah satu sumber masalah adalah metode akuntansi persediaan yang digunakan perusahaan. Ketika inflasi melonjak (harga barang-barang naik), perusahaan mungkin tergoda untuk menggunakan metode persediaan fist-in, first-out (FIFO). FIFO menghasilkan angka harga pokok penjualan (cost of goods sold) yang lebih rendah daripada metode last-in, first-out (LIFO). Sehingga, keuntungan mungkin akan seolah-olah meningkat drastis.
Efek terhadap pasar keuangan
Daya beli uang juga mempengaruhi nilai diskonto dari surat berharga. Ketika inflasi naik, dividen atau pembayaran bunga di masa depan akan bernilai lebih rendah.
Singkat cerita, semakin tinggi inflasi, semakin tinggi tingkat diskonto, dan semakin rendah nilai surat berharga.
Kebijakan pemerintah untuk menjaga daya beli uang
Sumber penurunan daya beli berasal dari laju inflasi. Jadi, selama inflasi tinggi, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan moneter kontraktif atau kebijakan fiskal kontraktif untuk memoderasi tingkat inflasi. Diantara opsi-opsinya adalah:
- Mengurangi pengeluaran pemerintah
- Menaikkan pajak
- Menaikkan suku bunga acuan
- Meningkatkan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio)
- Operasi pasar terbuka dengan menjual surat berharga pemerintah
Opsi-opsi tersebut menyebabkan permintaan agregat dalam perekonomian melemah. Melemahnya permintaan agregat memperlambat laju kenaikan tingkat harga.
Dilema kebijakan terjadi ketika sumber inflasi berasal dari penurunan penawaran agregat. Kedua kebijakan tidak efektif karena hanya mempengaruhi permintaan agregat.