Contents
Apa itu: Aliran keluar modal (capital outflow) merujuk pada eksodus modal dari suatu negara. Jika aliran modal keluar terjadi secara masif, itu kita sebut dengan pelarian modal (capital flight). Beberapa faktor yang memicu aliran keluar modal umumnya dikaitkan dengan kombinasi faktor politik dan ekonomi.
Arus keluar modal dijelaskan
Aliran keluar modal adalah sumber risiko bagi perekonomian sebuah negara. Itu dapat menyebabkan depresiasi parah dan krisis nilai tukar, yang mana dapat mengarah pada krisis ekonomi sebagaimana terjadi di Indonesia dan Thailand pada tahun 1998. Dan, krisis ekonomi tidak hanya berdampak pada stabilitas perekonomian sebuah negara, tetapi juga merembet ke masalah sosial seperti kerusuhan, kemiskinan dan kelaparan.
Arus keluar dan masuk modal dalam sebuah negara sebenarnya adalah hal yang lumrah. Ketika sebuah negara mengadopsi perekonomian terbuka, arus modal adalah penyeimbang untuk transaksi berjalan (current account). Ketika negara tersebut menjalankan defisit transaksi berjalan, modal asing masuk untuk membeli aset domestik. Kondisi sebaliknya berlaku ketika negara tersebut menjalankan surplus transaksi berjalan.
Dalam kondisi politik dan ekonomi yang relatif stabil, investor biasanya mencari negara-negara yang menawarkan pengembalian (return) yang relatif tinggi. Beberapa dari mereka berorientasi jangka panjang, seperti dalam investasi asing langsung.
Sementara itu, beberapa yang lain berorientasi jangka pendek. Mereka menyasar kelas aset di pasar modal. Kita menyebut arus modal ini sebagai uang panas (hot money). Mereka cepat keluar dan masuk ke sebuah negara untuk mengambil keuntungan jangka pendek.
Investor asing akan melihat beberapa variabel untuk menilai tingkat pengembalian dan prospek pertumbuhan ke depan. Empat indikator utama adalah pertumbuhan ekonomi, suku bunga, inflasi dan nilai tukar.
Selanjutnya, ketika beberapa indikator tersebut memburuk, modal akan keluar. Kejadian semacam itu biasanya seiring dengan peningkatan risiko di dalam negeri. Atau, investor menemukan alternatif yang lebih baik di luar negeri. Ketika aliran keluar modal signifikan, itu mengganggu stabilitas perekonomian domestik.
Pemilik modal, baik asing maupun domestik, menjual kepemilikan mereka dan memindahkan uang mereka ke negara lain. Mereka akan mencari negara-negara yang menawarkan stabilitas politik dan potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Jika arus modal keluar signifikan, pemerintah kemungkinan mencoba untuk membatasi arus keluar dengan memberlakukan kontrol modal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran modal keluar
Peningkatan risiko domestik menyebabkan arus keluar. Membaiknya prospek pengembalian di pasar internasional juga dapat mempengaruhi aliran modal keluar.
Risiko domestik meningkat karena beberapa hal:
- Melemahnya pertumbuhan ekonomi. Misalnya, selama resesi ekonomi, prospek sektor riil jatuh dan investor asing akan menjauh dari pasar saham karena harga saham cenderung turun.
- Krisis politik seperti perang, kerusuhan, dan kudeta. Itu membawa pada ketidakpastian terhadap iklim investasi.
- Penurunan suku bunga domestik. Mengasumsikan suku bunga luar negeri tidak berubah, itu membuat pengembalian di pasar dalam negeri kurang menarik. Investor asing memilih untuk berinvestasi di negara-negara yang menawarkan pengembalian yang lebih tinggi.
- Tingginya beban utang pemerintah. Itu meningkatkan risiko gagal bayar pemerintah. Untuk membayar utang, pemerintah mungkin menjalankan kebijakan penghematan (austerity policy), yang mana membebani pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
- Spekulasi. Ambil contoh spekulasi nilai tukar. Spekulan menjatuhkan nilai tukar mata uang domestik secara sementara. Serangan semacam itu dapat memicu kepanikan dan menyebabkan krisis mata uang, terutama ketika pemerintah tidak cukup kredibel untuk mengintervensi karena ketidakcukupan cadangan devisa.
Kontrol modal
Kontrol modal adalah salah satu cara untuk membatasi arus keluar modal. Itu dapat mengambil beragam bentuk seperti pajak, pembatasan penarikan uang dari sistem perbankan, dan volume transaksi.
Dalam beberapa kasus, kontrol mungkin efektif untuk menghindari memburuknya stabilitas perekonomian. Kontrol modal adalah salah satu alasan Malaysia dapat menghindari krisis di tahun 1998. Pada bulan September 1998, Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, memberlakukan kontrol pertukaran dan membatas arus keluar dari investasi portofolio secara ketat.
Namun, dalam beberapa kasus, respon semacam itu mungkin berakhir dengan kegagalan. Jika pemerintah memberlakukannya secara tiba-tiba, itu dapat memicu kepanikan dan arus keluar modal. Itu mengirimkan sinyal bahwa ada masalah dalam perekonomian dan dapat memperburuk keadaan. Investor semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dengan kondisi politik dan perekonomian domestik, menambah keyakinan mereka untuk keluar.
Dampak arus keluar modal
Arus keluar modal mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik, menyebabkan depresiasi. Arus keluar yang relatif kecil wajar bagi perekonomian. Itu mengarah pada depresiasi kecil, yang mana seharusnya membantu untuk mendorong ekspor.
Ketika modal keluar, semakin banyak orang yang menjual mata uang domestik dan mengkonversinya ke dalam mata uang asing (misalnya dolar AS). Sebagai hasilnya, nilai tukar mata uang domestik turun. Depresiasi membuat produk domestik lebih murah bagi pembeli di luar negeri. Karena barang domestik lebih murah, itu seharusnya mendorong peningkatan permintaan ekspor.
Pada saat yang sama, depresiasi menyebabkan harga produk impor lebih mahal. Itu melemahkan permintaan impor.
Sebagai hasilnya adalah neraca perdagangan seharusnya membaik, mengasumsikan faktor lain konstan. Perbaikan neraca perdagangan membantu pertumbuhan ekonomi domestik.
Kondisi di atas adalah dampak ideal. Anda perlu ingat, perdagangan internasional tidak hanya tergantung nilai tukar, tetapi juga pada faktor lain seperti daya saing produk (kualitas), inflasi, dan elastisitas permintaan ekspor dan impor.
Selanjutnya, arus keluar yang modal yang signifikan membahayakan perekonomian domestik. Itu menyebabkan depresiasi tajam dan dapat mengarah pada krisis nilai tukar.
Salah satu dampak depresiasi tajam nilai tukar adalah lonjakan beban utang berdenominasi mata uang asing. Misalnya, ketika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jatuh, peminjam Indonesia harus mengumpulkan lebih banyak rupiah untuk membayar bunga dan pokok. Itu dapat mengganggu arus kas mereka. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka mungkin akan memborong dolar AS untuk mengantisipasi pembayaran berikutnya.
Namun, pembelian dolar AS hanya akan memperburuk keadaan. Itu membuat nilai tukar rupiah semakin jatuh. Situasi semacam inilah yang menjadi salah satu alasan krisis mata uang Indonesia menjadi semakin akut selama 1998.