Contents
Inflasi adalah kenaikan tingkat harga umum barang dan jasa dalam perekonomian dari waktu ke waktu. Jika harga satu barang atau beberapa barang naik, itu bukan inflasi. Jika inflasi ada, harga hampir semua barang dan jasa dalam perekonomian meningkat, sebagaimana terindikasi dari perubahan indeks harga.
Mengukur dan menghitung inflasi
Ekonom mengamati inflasi melalui sejumlah indeks harga. Indeks ini merepresentasikan perkembangan harga dari sekeranjang barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen dan produsen.
Indeks harga bervariasi antar negara, baik terkait dengan jenis barang dan jasa maupun bobot dalam perhitungan. Secara umum, ada tiga indeks utama untuk mengukur inflasi, yakni:
- Indeks harga konsumen (IHK)
- Indeks harga produsen (IHP)
- Deflator PDB
Indeks harga konsumen melacak perubahan harga barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen, sedangkan indeks harga produsen adalah untuk barang dan jasa yang dibeli oleh produsen. Sementara itu, ekonom menghitung deflator PDB dengan membagi PDB nominal ke PDB riil. Dari ketiganya, ekonom, pengambil kebijakan, maupun analis lebih sering indeks harga konsumen sebagai indikator inflasi.
Sekarang mari kita gunakan indeks harga konsumen untuk menghitung inflasi. Kita menghitung tingkat inflasi dari perubahan indeks harga konsumen saat ini dengan periode sebelumnya, biasanya secara year on year.
Tingkat inflasi = [(IHKt / IHKt-1) -1] x 100%
Misalkan jika indeks harga konsumen pada 2017 adalah 132 dan indeks harga konsumen pada 2018 adalah 140. Dari dua angka tersebut, tingkat inflasi pada 2018 adalah 6,1% = [(140/132) -1] x 100% = 6,1%.
Jenis inflasi dan penyebabnya
Ada tiga jenis inflasi yang dikenal luas. Mereka adalah:
- Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation)
- Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation)
- Inflasi bawaan (built-in inflation)
Demand-pull inflation
Jenis inflasi ini terjadi karena tingginya permintaan agregat dalam perekonomian. Ini seringkali muncul ketika ekonomi berekspansi, yang mana mendorong rumah tangga untuk meningkatkan pengeluaran atas barang dan jasa.
Ketika permintaan agregat lebih besar dari penawaran agregat, ada shortage dalam perekonomian. Situasi ini akan pada peningkatan tekanan ke atas pada harga barang dan jasa. Tekanan ini biasanya terjadi ketika ekonomi berada pada fase boom.
Inflasi terjadi ketika PDB riil lebih tinggi dari PDB potensial (kesenjangan output positif). Dalam situasi ini, output riil lebih tinggi dari kapasitas produksi dalam perekonomian. Akibatnya, tekanan harga meningkat.
Biasanya, dalam situasi tersebut, ekonomi juga mengalami defisit perdagangan. Output gap yang positif mengindikasikan bahwa kapasitas produksi dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan. Oleh karena itu, mau tidak mau, perekonomian harus memasoknya dari luar negeri (impor lebih besar).
Cost-push inflation
Inflasi dorongan biaya terjadi karena ada kenaikan biaya produksi yang besar. Selain itu, penyebabnya juga dapat terjadi karena ada guncangan sisi pasokan seperti bencana alam, yang mana dapat menyusutkan pasokan secara tiba-tiba.
Contoh penyebab kenaikan biaya produksi yang menyebabkan lonjakan inflasi adalah kenaikan harga minyak. Sebagaimana kita ketahui, minyak adalah komoditas yang paling penting saat ini. Penggunaannya mencakup berbagai macam sektor, tidak hanya sebagai bahan bakar transportasi. Secara khusus, untuk bahan bakar, kenaikan harga minyak menyebabkan biaya transportasi dalam perekonomian menjadi lebih tinggi dan berdampak pada biaya produksi banyak perusahaan.
Kenaikan biaya produksi memaksa bisnis untuk menaikkan harga demi mempertahankan margin profitabilitasnya. Ketika banyak produsen menaikkan harga jualnya, tekanan inflasi akan menguat.
Situasi ini pernah terjadi di Indonesia selama 2014-2015. Dalam dua tahun tersebut, inflasi melonjak menjadi di atas 8% dari sebelumnya di bawah 4%. Penyebabnya adalah harga minyak yang tinggi, mencapai lebih dari USD100 per barel.
Built-in inflation
Jenis inflasi ini muncul karena pengaruh ekspektasi adaptif dan spiral harga-upah, yang mana menciptakan tekanan inflasi di masa depan. Biasanya, dari indeks harga konsumen, jenis inflasi ini membentuk komponen inflasi inti.
Selama inflasi, pekerja menyadari bahwa upah riil mereka menurun karena harga barang dan jasa naik lebih tinggi daripada upah nominal mereka. Untuk mempertahankan biaya hidup, mereka kemudian menuntut upah nominal yang lebih tinggi.
Karena, biasanya, biaya tenaga kerja mencakup porsi yang besar dari biaya produksi, bisnis meneruskan kenaikan upah nominal tersebut ke harga jual. Dengan demikian, upah nominal yang lebih tinggi saat ini menginduksi tingkat harga yang lebih tinggi di masa depan.
Kenaikan harga jual, selanjutnya, mendorong para pekerja untuk menegosiasikan upah yang lebih tinggi lagi. Proses ini berlanjut dan menciptakan efek spiral upah-harga dalam perekonomian.
Istilah umum
Dalam membahas inflasi, ada beberapa istilah umum yang perlu anda ketahui. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
- Disinflasi. Ini mengacu pada laju pertumbuhan inflasi yang lebih lambat, misalnya, dari 5% menjadi 3%. Harap dicatat bahwa persentasenya tetap lebih besar dari nol, hanya saja nilainya menurun dari periode sebelumnya.
- Deflasi. Ini terjadi ketika tingkat harga turun secara terus-menerus. Oleh karena itu, tingkat inflasi bernilai negatif (di bawah nol). Ini umumnya terkait dengan resesi yang dalam.
- Hiperinflasi. Ini adalah fenomena kenaikan harga sangat tinggi. Ini bisa disebabkan oleh guncangan pasokan, kesulitan ekonomi, perang, atau transisi rezim ekonomi. Tingkat inflasi dapat mencapai hingga 500% dalam sebulan. Zimbabwe dan Venezuela adalah dua negara yang mengalaminya baru-baru ini.
- Reflasi. Istilah ini menggambarkan fase pertama inflasi setelah periode deflasi. Biasanya, penyebabnya adalah ketika jumlah uang beredar dalam perekonomian mulai meningkat.
- Stagflasi. Ini adalah periode inflasi tinggi yang disertai dengan tingkat pengangguran yang tinggi serta pertumbuhan ekonomi yang lambat. Untuk mengingatnya, kata stagflasi dapat kita pecah menjadi “Pertumbuhan stagnan” dan “Inflasi”.
- Galloping inflation. Ini mengacu pada suatu kondisi ketika tingkat inflasi yang tinggi. Secara tahunan, mungkin nilainya berada di kisaran 50% lebih, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan hiperinflasi.
- Creeping inflation. Jenis inflasi yang masih berada pada satu digit, tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata historis.
Mengapa inflasi penting dalam perekonomian
Kenaikan tingkat harga umum mengikis daya beli mata uang. Oleh karena itu, ketika ada inflasi, satu rupiah hari ini lebih bernilai daripada satu rupiah di masa depan. Atau dengan kata lain, satu rupiah saat ini dapat membeli lebih banyak barang daripada di masa depan.
Inflasi menguntungkan peminjam dengan mengorbankan pemberi pinjaman. Ketika seorang peminjam membayar pokok pinjaman, daya beli uang lebih rendah daripada ketika dipinjam. Jadi, untuk mengkompensasi risiko ini, pemberi pinjaman menambahkan persentase bunga sebagai premi atas risiko tersebut.
Kenaikan harga yang rendah biasa terjadi ketika ekonomi tumbuh. Oleh karena itu, peningkatan moderat inflasi dapat menunjukkan ekonomi sedang tumbuh. Dalam situasi ini, inflasi tidak menjadi masalah.
Sebaliknya, inflasi yang tinggi dianggap buruk bagi perekonomian. Jika kenaikan harga melaju tanpa terkendali, itu dapat menghancurkan sistem moneter suatu negara, menyebabkan risiko politik, dan menghambat investasi di negara-negara tersebut. Orang-orang kehilangan kepercayaan pada mata uang dan dapat memperburuk standar hidup.
Secara keseluruhan, inflasi yang rendah dan stabil lebih disukai. Oleh karena itu, beberapa negara mengadopsi penargetan inflasi sebagai kebijakan mereka. Mereka menentukan kisaran tingkat inflasi yang dapat diterima. Ketika semua orang percaya bahwa bank sentral akan bergerak untuk mengendalikan inflasi dalam kisaran itu, keputusan pengeluaran dan investasi akan dibuat secara bijak.
Kebijakan untuk mempengaruhi inflasi
Dengan mencermati laju inflasi, kita dapat menilai keadaan ekonomi dan memprediksi perubahan dalam kebijakan moneter, yang memiliki dampak signifikan pada kehidupan kita sehari-hari. Jika kenaikan harga tinggi disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, perekonomiannya terlalu panas. Ini mendesak otoritas moneter untuk mengambil langkah untuk mendinginkannya, misalnya dengan menaikkan suku bunga kebijakan.
Suku bunga kebijakan yang lebih tinggi akan mendorong bank komersial untuk meningkatkan suku bunga pinjaman mereka, membuat biaya dana lebih mahal dari sebelumnya. Ini mengurangi permintaan untuk pinjaman dan melemahkan pengeluaran untuk barang dan jasa, baik oleh rumah tangga atau bisnis. Belanja yang lebih rendah menurunkan permintaan agregat, sehingga membatasi tingkat inflasi dan memoderasi pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang lambat dan inflasi yang terlalu rendah biasanya mendesak otoritas moneter untuk mengadopsi kebijakan ekspansif, misalnya dengan memangkas suku bunga kebijakan. Suku bunga yang lebih rendah meningkatkan permintaan agregat dan output ekonomi, yang mengarah pada peningkatan tingkat inflasi.