Contents
Apa itu: Penetapan harga biaya marginal (marginal cost pricing) merujuk pada pendekatan penetapan harga di mana perusahaan menetapkan harga suatu produk sesuai dengan biaya marginalnya. Dalam hal ini, perusahaan hanya memperhitungkan biaya variabel per unit.
Bagaimana menghitung marginal-cost pricing
Sejujurnya, pada awal saya membaca konsep ini, saya merasa bingung. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan menetapkan harga sama dengan biaya marginal? Bukankah itu berimplikasi pada kerugian yang besar.
Tapi, secara saya perlahan mulai mengerti bagaimana cara kerja marginal-cost pricing.
Konsep dasar
Sebelum memberikan memberikan contoh perhitungan marginal-cost pricing, saya akan mengulas secara singkat tiga konsep berguna dalam artikel ini.
Pertama, biaya tetap. Itu adalah jenis biaya yang nilainya tidak berubah ketika output berubah. Contohnya adalah biaya mesin produksi. Ketika menambah produksi, perusahaan menanggung biaya tetap yang sama.
Kedua, biaya variabel. Itu adalah biaya yang bervariasi terhadap perubahan output. Ketika output meningkat, nilainya akan meningkat. begitu juga, jika output turun, biaya variabel juga akan turun. Contoh biaya variabel adalah bahan baku.
Ketiga, biaya marginal. Itu adalah biaya ekstra ketika perusahaan menambah satu unit produk. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Biaya marginal = ∆ Total biaya/ ∆ Kuantitas = (∆ Total biaya tetap + ∆ Total biaya variabel)/∆Kuantitas
Perubahan biaya tetap adalah sama dengan nol. Total biaya tetap akan sama ketika output meningkat (perusahaan masih dapat menggunakan mesin yang sama untuk meningkatkan produksi). Oleh karena itu, kita dapat menulis ulang formula di atas menjadi:
Biaya marginal = ∆Total biaya variabel/∆Kuantitas
Contoh dan perhitungan
Sekarang, mari kita ambil contoh sederhana.
Sebuah perusahaan berhasil meningkatkan produksinya hingga 20 unit. Peningkatan output menurunkan biaya rata-rata karena dapat menyebarkan biaya tetap (Rp100) ke output yang lebih besar.
Kuantitas | Biaya tetap (Rp) | Biaya variabel (Rp) | Total biaya (Rp) | Biaya Marginal (Rp) | Rata-rata biaya tetap (Rp/unit) | Rata-rata biaya variabel (Rp/unit) | Rata-rata total biaya (Rp/unit) |
10 | 100 | 150 | 250 | 25 | 10 | 15 | 25 |
20 | 100 | 200 | 300 | 5 | 5 | 10 | 15 |
Katakanlah, untuk menjual output sebanyak 20 unit, perusahaan mengadopsi cost-plus pricing dan mengambil margin keuntungan sebesar 5% dari biaya. Dari informasi ini, kita dapat menghitung harga jual per unit adalah sebesar Rp15,75 per unit = Rp15 x (1+5%).
Sementara itu, jika perusahaan mengadopsi strategi marginal cost pricing, perusahaan menetapkan harga sebesar Rp5 per unit. Bukankah ini tidak masuk akal? Bukankan perusahaan akan rugi signifikan?
Ya memang, perusahaan tidak dapat menggunakan strategi tersebut pada setiap situasi. Perusahaan biasanya akan menggunakan pendekatan marginal cost pricing ketika:
- Perusahaan telah mencapai titik impas. Itu adalah titik di mana pendapatan telah menutupi biaya produksi. Setelah volume impas tercapai, perusahaan dapat menentukan harga menggunakan pendekatan marginal cost pricing.
- Perusahaan masih memiliki tingkat kapasitas untuk menambah output lebih tinggi daripada volume impas.
- Perusahaan mengadopsi strategi penetapan harga agresif seperti loss leader, untuk setiap output tambahan setelah mencapai volume impas.
Baiklah mari kita cari volume impas terlebih dahulu. Anda dapat menggunakan rumus berikut:
Volume impas = Biaya tetap per unit / (Harga jual per unit – Biaya variabel per unit) = Rp100 / (Rp15,75 – Rp10) = 18 unit (pembulatan ke atas).
Dengan output 18 unit, perusahaan menanggung biaya tetap sebesar Rp100. Sedangkan, biaya variabel perusahaan adalah sebesar Rp180 = 18 unit x Rp10. Jadi, pada volume tersebut total biaya adalah sebesar Rp280.
Berikutnya, pendapatan dari penjualan 18 unit adalah sebesar Rp283,5 (18 unit x Rp15,75).
Katakanlah, dengan kapasitas saat ini, perusahaan masih dapat meningkatkan output hingga 24 unit. Untuk 6 output berikutnya inilah, perusahaan mungkin menggunakan marginal-cost pricing.
Mari kita hitung biaya marginal untuk meningkatkan output dari 18 unit menjadi 24 unit.
Total biaya tetap adalah tidak berubah, sebesar Rp100. Sedangkan, dengan biaya variabel rata-rata adalah Rp10, maka total biaya variabel adalah sebesar Rp240. Jadi total biaya untuk memproduksi 24 unit adalah Rp340 (Rp100 + Rp240).
Biaya marginal = (Rp340 – Rp300) / (24 – 18) = Rp6,8
Jadi, dalam kasus ini, perusahaan menggunakan dua pendekatan:
- Cost-plus pricing untuk 18 unit output pertama. Dengan markup 5% di atas biaya rata-rata, perusahaan menetapkan harga jual sebesar Rp15,75 per unit. Pada harga tersebut, perusahaan memperoleh pendapatan sebesar Rp283,5 dan dapat menutupi biaya produksi sebesar Rp280.
- Marginal cost pricing untuk 6 unit berikutnya dengan harga Rp6.7 per unit. Di harga tersebut, perusahaan memperoleh pendapatan sebesar Rp40.2.
Anda dapat lihat jika perusahaan menetapkan harga jual output tambahan sama dengan biaya marginal, perusahaan akan membukukan total pendapatan sebesar Rp323,7 (Rp283,5 + Rp40,2). Itu masih lebih rendah daripada total biaya memproduksi 24 output (18 volume impas dan 6 output tambahan) yang sebesar Rp340.
Perusahaan tetap melakukannya jika tujuan utamanya adalah meningkatkan pangsa pasar.
Tapi, jika tujuannya adalah keuntungan, maka perusahaan mungkin akan menetapkan harga jual 6 unit output ekstra pada tingkat biaya rata-rata titik impas (Rp15). Dengan begitu perusahan memperoleh pendapatan sebesar Rp90 (6 unit x Rp15) dari output ekstra. Total pendapatan perusahaan akan sama dengan Rp373,5, lebih tinggi daripada total biaya 24 unit output (Rp340).
Keunggulan dan kelemahan marginal cost pricing
Pendekatan marginal cost pricing adalah strategi jangka pendek. Perusahaan mungkin menggunakan pendekatan ini ketika mengadopsi loss leader pricing atau promotional pricing. Bukankah keduanya juga metode penetapan harga?
Ya, memang, tapi dari keduanya, anda tidak dapat menentukan berapa harga yang seharusnya. Menggunakan marginal cost pricing anda dapat menghitung secara matematis harga jual dan juga keuntungan (kerugian).
- Di bawah strategi loss leader, perusahaan menetapkan harga jual rendah untuk beberapa produk. Dalam contoh di atas, perusahaan dapat menetapkan harga jual rendah (di harga marginal) untuk 6 output tambahan dan harga jual lebih tinggi (dengan markup di atas biaya rata-rata) untuk 18 unit pertama. Potensi kerugian perusahaan adalah sekitar Rp16.3 (Rp323.7-Rp340).
- Di bawah harga promosional, perusahaan dapat menetapkan harga jual Rp15.75 untuk 18 output pertama. Selanjutnya, untuk 6 unit output tambahan perusahaan dapat mendiskon harga jual dan menawarkannya di harga Rp15. Dengan strategi ini, perusahaan masih mendapatkan keuntungan sebesar Rp33.5 (Rp373.5-Rp340).
Keuntungan marginal cost pricing
- Perhitungannya relatif sederhana. Anda dapat menghitungnya dengan menggunakan operasi aritmatika sederhana.
- Itu berguna ketika perusahaan memiliki kapasitas produksi berlebih. Perusahan dapat meningkatkan produksi dan menjualnya secara diskon daripada harga normal. Itu tidak hanya menguntungkan tetapi juga menarik lebih banyak penjualan (harga terdiskon).
Kelemahanmarginal cost pricing
- Strategi tidak cocok untuk tujuan jangka panjang. Perusahaan harus beroperasi secara menguntungkan dan oleh karena itu, perlu memulihkan seluruh biaya produksi dan beroperasi secara menguntungkn.
- Konsumen berekspektasi perusahaan akan mempertahankan harga yang lebih rendah lebih lm. Itu membuatnya lebih sulit untuk menaikkan harga lagi di di masa mendatang.
- Penjualan kembali oleh pelanggan. Mereka dapat mengambil keuntungan dari harga biaya marjinal yang lebih rendah. Mereka dapat menjualnya ke pelanggan lain dan mencegah untuk membeli langsung dari perusahaan.