Contents
Apa itu: Cost-plus pricing adalah strategi penetapan harga di mana perusahaan menambahkan margin keuntungan (mark-up) ke biaya pembuatan produk. Ini adalah metode paling dasar dan sederhana karena menggunakan biaya sebagai basis perhitungan.
Istilah lain dari cost-plus pricing adalah markup pricing.
Cost-plus pricing kontras dengan penetapan harga berdasarkan pasar (market-based pricing). Di bawah pendekatan yang terakhir, perusahaan pertama kali mempertimbangkan permintaan dan persaingan dalam menentukan harga jual, alih-alih biaya.
Mengapa perusahaan mengadopsi
Cost-plus pricing digunakan terutama oleh perusahaan yang menginginkan kepastian tentang biaya. Contoh perusahaan yang sering menggunakan cost plus pricing adalah ritel, konstruksi dan layanan pemerintah.
Peritel biasanya ingin menghitung dengan pasti margin laba kotor dari setiap unit terjual. Selain mudah dihitung, pendekatan cost-plus pricing memungkinkan perusahaan untuk memastikan bahwa biaya mereka telah tertutupi. Strategi ini juga memberikan kepastian bagi pemasok mereka.
Kontraktor juga dapat menggunakan metode ini untuk menentukan harga kontrak. Cost-plus pricing menghindari ketidakpastian yang terkait dengan perkiraan biaya. Di industri konstruksi, pelanggan sangat menginginkan kepastian tentang biaya. Dengan begitu, mereka dapat menetapkan harga jual secara lebih pasti.
Bagaimana menghitung cost-plus pricing?
Mari kita bahas satu per satu bagaimana cara kerja cost-plus pricing. Bagian awal akan membahas fitur utama strategi penetapan harga ini. Kemudian, kita akan membahas tentang formula dan cara menghitungnya.
Fitur utama dari cost-plus pricing
Dua komponen pembentuk harga:
- Biaya produksi setiap unit
- Markup atau keuntungan yang diinginkan
Pendekatan cost-plus pricing memperhitungkan semua biaya yang relevan. Dalam industri manufaktur, itu termasuk biaya material langsung, biaya overhead dan biaya tenaga kerja.
Dalam praktiknya, perhitungan mungkin bervariasi. Beberapa perusahaan mungkin hanya memperhitungkan biaya produksi saja. Setelah itu, perusahaan menambahkan persentase markup untuk menutupi biaya overhead lainnya (termasuk biaya administrasi, penjualan, dan distribusi).
Sedangkan, perusahaan lainnya menghitung semua biaya yang relevan, termasuk biaya overhead. Mereka mengestimasi biaya biaya administrasi, penjualan, dan distribusi dan menambahkan nya ke dalam total biaya. Perusahaan lalu menentukan harga jual dengan mengalikannya dengan persentase keuntungan.
Formula dan contoh cost-plus pricing
Perhitungan pendekatan ini relatif mudah. Pertama, anda perlu menentukan total biaya produk. Anda dapat menjumlahkan biaya tetap dan biaya variabel.
Kedua, anda membagi total biaya produk dengan jumlah unit. Ini untuk menentukan biaya per unit.
Ketiga, kalikan biaya per unit dengan persentase keuntungan yang anda inginkan. Semakin besar persentase keuntungan, semakin tinggi harga jual produk.
Berikut ini adalah formula dari cost-plus pricing:
- Harga = Biaya per unit × (1 + Persentase markup)
Mari kita ambil contoh.
Sebuah perusahaan pakaian melaporkan biaya produksinya adalah sebagai berikut:
Biaya bahan baku | Rp10.000 |
Biaya tenaga kerja langsung | Rp5.000 |
Biaya overhead | Rp3.000 |
Dari data tersebut, total biaya produk adalah sebesar Rp18.000. Katakanlah, jumlah output yang perusahaan produksi adalah sebanyak 180 unit. Jadi, biaya per unit output adalah sebesar Rp100.
Perusahaan menginginkan produk memiliki margin sekitar 20%. Dari informasi tersebut, jual per unit pakaian adalah sebesar Rp100 x (1+20%) = Rp120. Itu berarti perusahaan mendapatkan keuntungan sebesar Rp20 per unit output terjual atau sekitar 20% dari biaya per unit. Mudah bukan?
Menentukan persentase markup
Perusahaan dapat menyesuaikan persentase keuntungan dengan kondisi permintaan. Misalnya, ketika permintaan tinggi, perusahaan mungkin akan menetapkan markup lebih tinggi. Sebaliknya, ketika permintaan turun, mereka menurunkan markup sehingga harga produk tetap terjangkau.
Berikutnya, persentase markup mungkin juga berbeda antar lini produk. Perusahaan menetapkan persentase yang lebih tinggi untuk beberapa produk dan rendah untuk produk lainnya. Faktor pertimbangannya mungkin adalah permintaan dan persaingan.
Harap anda ingat. Dalam menghitung cost-plus pricing perusahaan seharusnya tetap mempertimbangkan kondisi permintaan dan harga produk pesaing. Keduanya menentukan margin keuntungan. Misalnya, ketika persaingan ketat, perusahaan mungkin akan menetapkan margin yang lebih rendah agar harga jual tidak terlalu mahal. Kondisi sebaliknya berlaku ketika tekanan persaingan lebih rendah.
Meski perusahaan mempertimbangkan permintaan dan keuntungan, biaya produksi tetap menjadi penentu utama. Jika perusahaan memiliki biaya produksi yang lebih tinggi, maka harga jual kemungkinan akan lebih tinggi dan perusahaan mungkin akan mengambil margin keuntungan rendah agar tidak terlalu mahal.
Balik lagi ke contoh perhitungan di atas. Katakanlah, pesaing di pasar menjual produk dengan harga Rp100. Itu sama dengan biaya produksi perusahaan.
Jika perusahaan mengambil margin keuntungan 20%, itu membuat produk tidak laku karena terlalu mahal. Oleh karena itu, perusahaan mungkin hanya akan mengambil margin keuntungan yang lebih rendah, misalnya sebesar 5%.
Keuntungan dan kelemahan cost-plus pricing
Apakah biaya plus harga bagus?
Itu tergantung pada sifat produk dan bisnis perusahaan. Di industri dengan kuantitas output sedikit dan melibatkan biaya produksi besar, cost-plus pricing lebih cocok. Contohnya adalah industri konstruksi.
Di industri tersebut, biaya untuk membangun satu unit sangat signifikan dan oleh karena itu, akan menjadi faktor pertimbangan utama dalam menetapkan harga. Selain itu, kontraktor juga tidak dapat menyebarkan biaya ke banyak output (seperti pemanufaktur) karena mereka hanya akan menggarap beberapa proyek saja.
Keuntungan cost-plus pricing
Keuntungan pertama cost-plus pricing adalah sederhana dan mudah. Perusahaan tidak memerlukan survei pelanggan ketika menetapkan harga jual. Yang agak lebih kompleks mungkin adalah penetapan alokasi alokasi overhead agar konsisten dalam menghitung harga beberapa produk. Beberapa produk mungkin membutuhkan biaya promosi yang lebih besar daripada yang lain, karena itu, seharusnya memiliki bobot biaya yang lebih tinggi.
Manfaat kedua adalah stabilitas keuntungan. Perusahaan dapat mengunci keuntungan ke dalam kontrak, sehingga itu kemungkinan besar tidak akan berubah selama kontrak berlaku. Markup keuntungan biasanya akan memperhitungkan potensi risiko tidak terduga di masa depan. Oleh karena
Memaksimalkan keuntungan. Perusahaan dapat menetapkan persentase keuntungan yang berbeda untuk produk yang berbeda. Selain itu, mereka dapat menyesuaikannya dengan kondisi permintaan dan persaingan di pasar.
Kelemahan cost-plus pricing
Meski mudah, cost-plus pricing tidak menjamin permintaan. Pendekatan ini hanya berorientasi internal (biaya) alih-alih eksternal (pelanggan dan pesaing).
Ambil contoh perusahaan baru. Mereka biasanya akan memiliki struktur biaya yang lebih tinggi daripada perusahaan yang ada saat ini. Jika menggunakan pendekatan ini, harga produk mereka akan lebih mahal. Alih-alih menghasilkan penjualan, pembeli enggan membeli produk.
Baiklah, mari kita rinci kelemahan dari cost-plus pricing.
Pertama, pendekatan ini tidak fleksibel. Maksud saya, harga tidak responsif terhadap perubahan pasar. Meski perusahaan dapat menyesuaikan persentase keuntungan, tapi harga jual pada akhirnya sangat tergantung pada struktur biaya perusahaan.
Katakanlah, perusahaan memiliki struktur biaya tinggi. Asumsikan, harga pasar turun ke level di bawah biaya per unit perusahaan. Jika mengadopsi cost-plus pricing, maka perusahaan tidak dapat menurunkan harga di bawah biaya per unit.
Itu adalah batas minimum untuk menentukan harga jual. Dan, di level itu (biaya per unit) perusahaan tidak mendapat keuntungan. Jadi, perusahaan kemungkinan tidak akan melakukannya (menurunkan harga lebih jauh).
Kedua, alokasi biaya overhead lebih kompleks daripada dalam teori. Jika perusahaan memiliki beragam produk, kesulitan muncul ketika menentukan berapa biaya overhead untuk masing-masing.
Misalnya, dalam anggaran, mereka mungkin menentukan biaya iklan untuk masing-masing produk. Tapi, ketika bernegosiasi dengan agen periklanan, mereka mungkin tidak akan menegosiasikan biaya iklan per masing-masing produk. Selain memakan waktu, perusahaan tidak dapat mengambil keuntungan seperti diskon karena memberikan kontrak besar ke agen.
Ketiga, harga kemungkinan kurang kompetitif. Memang, perusahaan dapat menyesuaikan margin keuntungan. Tapi, jika harga jual produk pesaing di bawah biaya per unit perusahaan, maka perusahaan tidak dapat mengikutinya. Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, batas minimum harga adalah biaya per unit. Tingkat itupun, perusahaan tidak mendapat keuntungan.
Jadi, jika tetap mempertahankan pendekatan ini, perusahaan dapat kehilangan penjualan dan pangsa pasar karena tidak kompetitif.
Keempat, sulit bagi perusahaan untuk menyesuaikan harga jika sudah ada dalam kontrak. Itu dapat menyebabkan kerugian jika perusahaan hanya mempertimbangkan biaya historis. Biaya saat ini naik dan perusahaan tidak dapat merevisi kontrak.
Kelima, produk mungkin kurang menarik bagi pelanggan. Di bawah metode ini, perusahaan tidak memiliki insentif untuk merancang produk dengan rangkaian fitur dan karakteristik desain yang sesuai kebutuhan dan keinginan pasar.