Contents
Hard currency mengacu pada mata uang yang dapat dikonversi secara bebas di pasar internasional. Mata uang tersebut telah diadopsi sebagai metode pembayaran yang dapat diterima di banyak negara. Contohnya yang paling umum dolar AS, Euro, yen Jepang, dolar Kanada, franc Swiss dan pound sterling.
Apa kriteria sebagai hard currency?
Hard currency umumnya dikeluarkan oleh negara-negara maju yang memiliki ekonomi industri yang kuat disertai oleh pemerintahan yang stabil. Mereka diterima secara luas sebagai bentuk pembayaran untuk barang dan jasa di dunia karena dipandang hanya mengalami fluktuasi kecil jangka pendek di pasar valuta asing.
Mata uang tersebut sangat likuid. Mereka sering digunakan untuk mendenominasi komoditas dan berfungsi sebagai patokan untuk pasar valuta asing. Oleh karena itu, ketika ada ketidakstabilan dalam mata uang tersebut, guncangan akan muncul di pasar keuangan, tidak hanya di negara-negara yang mengeluarkannya, tetapi dapat berimbas di seluruh dunia.
Dolar AS menonjol khususnya karena menikmati status sebagai mata uang cadangan devisa dunia. Banyak transaksi internasional dilakukan dalam dolar AS. Jika mata uang suatu negara mulai fluktuatif, investor di negara tersebut biasanya akan mulai memegang dolar AS dan mata uang safe haven lainnya untuk melindungi kekayaan mereka.
Hard currency dan perdagangan internasional
Hard currency lebih berharga daripada mata uang lainnya, oleh karena itu nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang lainnya. Ambil contoh rupiah, untuk mendapatkan satu dolar saja, kita harus menukarkan Rp14.000 rupiah yang kita miliki.
Secara teoritis, lemahnya nilai tukar merugikan importir kita. Ini karena mereka harus membayar mahal untuk mendapatkan barang-barang impor, terutama untuk bahan baku dan barang modal. Tekanan biaya akan lebih berat ketika rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Depresiasi tersebut melonjakkan biaya produksi. Sebagai akibatnya, itu dapat mendorong inflasi domestik naik seiring dengan langkah para produsen untuk menaikkan harga jual sebagai kompensasi kenaikan biaya produksi. Beberapa perusahaan mungkin memilih untuk mengurangi impor daripada harus menaikkan harga.
Sebaliknya, rupiah yang lemah menguntungkan dari sisi ekspor. Ini karena membuat barang-barang kita menjadi lebih murah bagi pembeli di luar negeri. Karena lebih murah, ekspor seharusnya dapat meningkat. Dengan impor yang lebih rendah, neraca perdagangan seharusnya lebih positif.