Contents
Nilai tukar atau kurs (exchange rate) merepresentasikan nilai satu mata uang ketika dikonversi ke mata uang lain. Misalkan nilai tukar IDR/USD saat ini 14.000. USD adalah mata uang dasar atau base currency (mata uang asing) dan IDR adalah mata uang harga atau price currency (mata uang lokal). Kita dapat mengatakan bahwa 14.000 rupiah dapat membeli 1 dolar AS atau kita perlu 1 dolar AS untuk mendapatkan Rp14.000.
Perbedaan nilai tukar dan mata uang
Nilai tukar mengacu pada daya beli mata uang satu negara terhadap mata uang negara lain. Dengan kata lain, kita menghitungnya dengan membagi jumlah mata uang yang Anda miliki dengan jumlah mata uang yang ingin Anda tukarkan. Misalnya, Anda memiliki uang kertas dengan nilai nominal Rp50.000 dan ingin mendapatkan dolar AS. Anda menukarnya di money changer dan mendapatkan USD3.57. Itu berarti nilai tukar mata uang Anda terhadap dolar adalah 14.000 per dolar AS (50.000 / 3,57).
Sementara itu, mata uang mengacu pada nilai mata uang itu sendiri. Itu adalah nilai nominal yang Anda lihat pada uang kertas atau koin yang Anda pegang. Dalam kasus di atas, mata uang Anda adalah Rp50.000.
Sistem nilai tukar
Secara umum, dua jenis rezim nilai tukar adalah tetap dan fleksibel. Keduanya memiliki beberapa modifikasi, tergantung pada kebijakan ekonomi di masing-masing negara.
Nilai tukar tetap adalah ketika suatu negara mengikat nilai mata uangnya dengan mata uang lain atau komoditas tertentu seperti emas. Dolar AS biasanya menjadi patokan dalam nilai tukar tetap karena banyak negara menggunakannya dalam perdagangan internasional.
Sementara itu, rezim yang fleksibel menyerahkan harga mata uang domestik ke mekanisme pasar. Permintaan dan penawaran di pasar valuta asing menentukan harga. Pemerintah tidak mengintervensi.
Nilai tukar tetap membawa stabilitas dan prediktabilitas karena harga mata uang ditetapkan pada tingkat tertentu. Namun, itu juga mengharuskan pemerintah untuk melakukan intervensi melalui pembelian dan penjualan di pasar valas secara aktif. Intervensi membutuhkan banyak cadangan mata uang agar dapat dipercaya. Kalau tidak, nilai tukar rentan terhadap serangan spekulatif.
Kelemahan lain dari nilai tukar tetap adalah bahwa kebijakan ekonomi tidak independen. Pembuat kebijakan harus menyesuaikan kebijakan mereka dengan kebijakan moneter di luar negeri. Misalnya, ketika suku bunga internasional naik, bank sentral domestik juga harus menaikkan suku bunga, memastikan bahwa spread tetap tidak berubah. Jika bank sentral dalam negeri tidak menaikkan suku bunga, modal akan keluar ke dalam untuk mencari pengembalian yang lebih tinggi di luar negeri. Itu akan menyebabkan depresiasi.
Sementara itu, nilai tukar fleksibel tidak memerlukan intervensi. Dan, karenanya, ia juga tidak memerlukan cadangan mata uang yang besar. Pergerakan nilai tukar gratis juga mendukung untuk memastikan keseimbangan perdagangan yang seimbang.
Namun, fluktuasi besar membawa ketidakpastian dalam pengambilan keputusan ekonomi. Serangan spekulatif juga dapat memperburuk fluktuasi dan memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian.
Fluktuasi nilai tukar
Dalam rezim yang fleksibel, harga mata uang domestik dapat naik dan turun, tergantung pada keseimbangan di pasar valuta asing. Ketika harga mata uang domestik turun relatif terhadap mata uang asing, itu berarti, mata uang domestik terdepresiasi. Sebaliknya, apresiasi terjadi ketika mata uang domestik menguat relatif terhadap mata uang asing.
Ketika terdepresiasi, mata uang domestik, dengan nominal yang sama, membeli lebih sedikit mata uang asing. Misalnya, nilai tukar rupiah berubah dari Rp15.000 / USD menjadi Rp16.000 / USD. Bagi orang Indonesia, rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Mereka harus menukar Rp16.000 untuk mendapatkan 1 dolar AS, lebih besar dari sebelumnya (Rp15.000).
Tapi, bagi orang Amerika, mata uang mereka terapresiasi terhadap rupiah. Mereka bisa mendapatkan lebih banyak rupiah untuk 1 dolar AS yang mereka pegang (dari Rp15.000 hingga Rp16.000).
Berikutnya adalah apresiasi mata uang. Asumsikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergerak dari Rp15.000 / USD ke Rp14.000 / USD. Orang Indonesia mengatakan bahwa rupiah mereka menguat. Itu karena, dengan hanya Rp14.000, mereka bisa mendapatkan satu dolar AS, lebih rendah dari sebelumnya (Rp15.000).
Sebaliknya, bagi orang Amerika, mata uang mereka terdepresiasi. Dengan 1 dolar AS, mereka mendapat lebih sedikit rupiah (dari Rp15.000 menjadi Rp14.000).
Mengapa kurs penting?
Perubahan nilai tukar dapat mempengaruhi harga barang impor dan ekspor. Perdagangan internasional tidak hanya melibatkan barang dan jasa, tetapi juga beberapa mata uang sebagai alat pembayaran. Jadi, ketika harga mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara mitra berubah, itu juga mempengaruhi harga barang dan jasa.
Pengaruh nilai tukar pada perdagangan telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan globalisasi dan peningkatan teknologi telah meningkatkan jumlah bisnis yang membeli dan menjual di luar negeri. Bisnis perlu mempertimbangkan nilai tukar saat membeli dan menjual barang. Karena nilai tukar mempengaruhi harga barang dan jasa, itu juga berdampak pada pendapatan dan biaya (dan laba) perusahaan.
Dampaknya bahkan lebih signifikan ketika ekonomi suatu negara bergantung pada perdagangan internasional. Ketika mata uang domestik terdepresiasi terhadap mata uang negara mitra, itu berarti harga barang impor menjadi lebih mahal. Bisnis domestik membayar lebih banyak untuk mendapatkan jumlah barang yang sama. Karena itu, mereka cenderung mengurangi impor.
Harga yang lebih tinggi juga berkontribusi terhadap inflasi domestik. Beberapa barang, seperti bahan baku dan barang modal, berasal dari luar negeri. Ketika harga mereka naik, itu juga meningkatkan biaya produksi industri dalam negeri. Untuk mempertahankan laba, produsen mengeluarkan biaya yang meningkat pada harga jual. Akibatnya, tekanan inflasi meningkat. Kami menyebut fenomena ini sebagai imported inflation.
Di sisi lain, depresiasi membuat barang-barang domestik lebih murah bagi pembeli di luar negeri. Mereka harus membayar lebih sedikit untuk mendapatkan jumlah yang sama. Akibatnya, ekspor cenderung meningkat.
Karena impor cenderung menurun dan ekspor cenderung naik ketika terdepresiasi, itu akan meningkatkan neraca perdagangan. Peningkatan neraca perdagangan pada akhirnya akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi karena meningkatnya permintaan agregat.
Kondisi sebaliknya juga berlaku ketika nilai tukar domestik menghargai mata uang negara mitra. Ekspor cenderung tertekan, sedangkan impor cenderung meningkat. Ini berkontribusi terhadap melemahnya pertumbuhan ekonomi domestik.
Harap dicatat, kami membahas pengaruh perubahan nilai tukar dengan mengasumsikan faktor-faktor lain konstan. Faktanya, perdagangan internasional tidak hanya bergantung pada nilai tukar, tetapi juga inflasi, daya saing barang, dan elastisitas permintaan.
Kurs nominal dan riil
Kurs nominal mengacu pada unit aktual yang kita dapatkan ketika kita menukar mata uang dengan mata uang asing. Sebagai contoh, kurs nominal Rp15.000/USD artinya kita bisa mendapatkan 1 dolar AS untuk Rp15.000 yang kita miliki.
Kurs nominal berbeda dari kurs riil. Yang terakhir mengacu pada kurs nominal setelah disesuaikan untuk perubahan daya beli. Kita dapat menghitung kurs riil sebagai berikut:
Nilai tukar riil = Nilai tukar nominal x (Inflasi asing/Inflasi domestik).
Indikator inflasi yang biasanya digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Misalnya, jika pada 2010, IHK Amerika Serikat dan Indonesia sama dengan 100, dan kursnya adalah Rp14.000/USD. Empat tahun kemudian, kurs adalah Rp12.000/USD. Di Amerika Serikat, IHK telah meningkat menjadi 110 sementara di Indonesia, IHK telah meningkat menjadi 112. Dengan demikian, kita menghitung kurs riil sebagai: 12.000 x (110/112) = Rp11.786/USD.
Mengapa kurs riil rupiah lebih rendah daripada kurs nominal? Ini karena inflasi Indonesia lebih tinggi daripada inflasi di Amerika Serikat.
- Inflasi di Amerika Serikat = [(110/100)-1] * 100% = 10%
- Inflasi di Indonesia = [(112/100)-1] * 100% = 12%
Konsep kurs riil menjadi dasar untuk menghitung paritas daya beli (purchasing power parity atau PPP). PPP menekankan bahwa kurs nominal akan menyesuaikan untuk memastikan bahwa barang identik memiliki harga yang sama di berbagai negara. Dengan demikian, variasi kurs tidak mendistorsi perbandingan.
Faktor yang mempengaruhi nilai tukar
Ada banyak faktor yang mempengaruhi fluktuasi kurs mata uang. Selain faktor fundamental, faktor non-ekonomi juga berperan dalam mempengaruhi kurs, terutama dalam jangka pendek. Berikut adalah tujuh faktor penentu nilai tukar:
- Inflasi
- Suku bunga
- Neraca perdagangan
- Utang pemerintah
- Spekulasi
- Risiko politik
- Pertumbuhan ekonomi
Inflasi
Biasanya, negara-negara dengan inflasi rendah akan melihat nilai tukar mereka terapresiasi. Inflasi domestik yang rendah membuat barang-barang mereka lebih kompetitif di pasar internasional. Ekspor akan cenderung tinggi dan permintaan untuk mata uang domestik akan meningkat.
Sebaliknya, negara-negara dengan inflasi tinggi akan melihat mata uang mereka terdepresiasi karena produk mereka kurang kompetitif.
Suku bunga
Tingkat bunga domestik yang tinggi relatif terhadap pasar keuangan internasional meningkatkan aliran masuk modal, terutama ke pasar surat utang. Investor melihat negara menawarkan pengembalian yang lebih tinggi kepada pemberi pinjaman. Masuknya modal asing akan menyebabkan nilai tukar terapresiasi.
Sebaliknya, suku bunga yang lebih rendah cenderung menyebabkan nilai tukar terdepresiasi. Modal keluar dari negara tersebut dan pergi ke negara lain yang menawarkan pengembalian lebih tinggi.
Neraca perdagangan
Sebagaimana dibahas sebelumnya, perdagangan internasional membutuhkan pembayaran. Pembayaran ini melibatkan pertukaran mata uang. Oleh karena itu, neraca perdagangan mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik.
Jika ekspor melebihi impor (surplus perdagangan), permintaan untuk mata uang domestik meningkat. Akibatnya, mata uang domestik terapresiasi.
Sebaliknya, ketika ekonomi domestik mengalami defisit perdagangan (impor melebihi ekspor), nilai tukar akan cenderung terdepresiasi. Defisit berarti bahwa negara membutuhkan lebih banyak mata uang asing untuk membayar barang impor daripada yang dikumpulkan dari ekspor.
Pertanyaannya adalah apakah nilai tukar mempengaruhi neraca perdagangan, atau apakah neraca perdagangan mempengaruhi nilai tukar? Ekonom menjelaskannya melalui Kurva J.. Defisit perdagangan awalnya menyebabkan depresiasi mata uang domestik karena impor lebih besar daripada ekspor. Depresiasi akan berlanjut sampai barang dan jasa dalam negeri cukup murah untuk orang asing, sehingga meningkatkan ekspor.
Ketika harga barang domestik menjadi lebih murah karena depresiasi, ekspor akan meningkat. Sebaliknya, impor cenderung turun karena harga barang asing menjadi lebih mahal. Jika ini terjadi, defisit perdagangan akan berkurang dan mengarah pada surplus, sampai harga barang domestik menjadi lebih mahal bagi orang asing.
Hasil sebaliknya juga berlaku ketika ada surplus perdagangan. Surplus pada akhirnya mengarah pada apresiasi, yang membuat harga barang domestik lebih mahal dan harga barang impor lebih murah. Apresiasi mengurangi surplus karena ekspor akan cenderung melemah, dan impor cenderung meningkat.
Akibatnya, nilai tukar pada akhirnya akan mengarahkan neraca perdagangan suatu negara menuju keseimbangannya. Itu akan terjadi hanya ketika nilai tukar bergerak bebas. Untuk alasan ini, beberapa ekonom lebih menyukai nilai tukar fleksibel daripada nilai tukar tetap.
Utang pemerintah
Ketika nilai utang pemerintah tinggi, ini meningkatkan risiko gagal bayar. Semakin tinggi risiko gagal bayar, semakin besar kemungkinan modal asing akan meninggalkan negara tersebut. Jika mengarah ke pelarian modal, ini dapat menyebabkan depresiasi tajam mata uang negara.
Spekulasi
Fluktuasi kurs, dalam situasi tertentu, tidak selalu mencerminkan fundamental ekonomi suatu negara. Ini bisa disebabkan oleh kegiatan spekulatif. Spekulan biasanya akan mengambil keuntungan dari peluang jangka pendek untuk. Selain menyebabkan kurs mata uang menjadi lebih fluktuatif, kegiatan spekulatif juga dapat memperkuat dampak pelarian modal dari suatu negara.
Risiko politik
Politik yang stabil menjaga iklim investasi, terutama dalam hal kebijakan ekonomi yang diambil. Dengan iklim investasi yang sehat, investor menjadi lebih percaya diri untuk menginvestasikan modalnya. Sebaliknya, gejolak politik dapat merusak kepercayaan investor dan dapat menyebabkan pelarian modal dalam jumlah besar.
Pertumbuhan ekonomi
Investor asing biasanya akan mencari negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang sehat. Kinerja ekonomi yang kuat menawarkan peluang untuk pengembalian yang lebih besar dan mendorong investor asing untuk menanamkan modalnya. Aliran modal positif mendorong apresiasi nilai mata uang negara tersebut.