Contents
Apa itu: Gaya kepemimpinan (leadership style) adalah pendekatan seseorang ketika memimpin untuk mendorong orang-orang bergerak menuju dan mencapai keinginannya. Itu adalah tentang bagaimana seorang berperilaku saat memimpin bawahan. Gaya mempengaruhi cara mengelola, memberikan arahan, mengimplementasikan rencana, membimbing, dan memotivasi bawahan.
Ada beberapa gaya kepemimpinan, termasuk otoriter, demokratis dan laissez-faire. Masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dan karena alasan ini dibutuhkan dan efektif pada situasi dan waktu yang berbeda.
Apa saja jenis gaya kepemimpinan?
Kurt Lewin, seorang psikologis, mengidentifikasi tiga gaya kepemimpinan utama:
- Kepemimpinan otokratis (otoriter)
- Kepemimpinan demokratis (konsultatif)
- Kepemimpinan laissez-faire (delegatif)
Selain ketiganya, pada artikel ini, mari kita bahas beberapa istilah dalam gaya kepemimpinan, seperti kepemimpinan karismatik, kepemimpinan etis dan kepemimpinan situasional.
Kepemimpinan otokratis
Kepemimpinan otokratis, disebut juga dengan kepemimpinan otoriter, memusatkan kekuatan pada pemimpin. Pemimpin menetapkan tujuan secara independen dan mendikte apa yang harus dilakukan oleh bawahan. Mereka kurang melibatkan bawahan mengatur area kerja atau memberi mereka ruang untuk mengaktualisasikan diri.
Begitu juga, pemimpin otokratis merupakan satu-satunya pengambil keputusan. Mereka tidak melibatkan bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Mereka memegang kendali penuh atas tim tanpa atau sedikit, meninggalkan otonomi di dalam tim.
Pemimpin otokratis meminta kepatuhan mutlak tanpa penyimpangan. Mereka mengawasi bawahan secara ketat dan mengandalkan aturan, kebijakan dan prosedur untuk mendorong kepatuhan. Dan komunikasi melibatkan satu arah, dari atas ke bawah.
Meski terdengar kaku dan cenderung kontra, namun, dalam beberapa situasi, pemimpin otokratis dibutuhkan. Misalnya, selama krisis, mereka dibutuhkan untuk mengambil keputusan dengan cepat. Selain itu, mereka bisa meminimalkan penyimpangan karena meminta semua orang patuh pada apa yang mereka putuskan.
Kemudian, jika pemimpin adalah seorang visioner, gaya otokratis memudahkan mereka untuk mencapai visi yang mereka bangun. Mereka lebih mudah dalam mengalokasikan dan memaksimalkan sumber daya. Begitu juga, mereka dengan mudah menggerakkan orang-orang menuju visi.
Tapi, jika sebaliknya, pemimpin otokratis tanpa visi besar bisa menjadi masalah. Gaya ini meningkatkan ketidakpuasan diantara bawahan. Tanpa kesempatan untuk memberi masukan dan terlibat lebih dalam di area kerja dapat menurunkan motivasi. Dan mereka mungkin memilih mundur dari perusahaan karena tidak betah dengan lingkungan kerja.
Kepemimpinan demokratis
Kepemimpinan demokratis (democratic leadership) mempromosikan delegasi dan pengambilan keputusan konsensus sebagai kebijakan manajemen. Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan. Mereka bekerja sama dan terlibat dalam diskusi secara terbuka sebelum keputusan akhir dibuat.
Di bawah gaya kepemimpinan ini, pemimpin mendorong bawahan untuk mengkomunikasikan ide-ide kepada pimpinan. Sehingga, tidak seperti kepemimpinan otokratis, komunikasi bersifat dua arah, top-down dan bottom-up.
Partisipasi yang lebih besar memungkinkan organisasi untuk menghasilkan lebih banyak ide. Itu penting karena bisa mengurangi bias dalam mengambil keputusan seperti ketika pemimpin mengandalkan pemikiran diri sendiri. Selain itu, lebih banyak ide mendukung organisasi untuk terus berinovasi.
Kemudian, di lingkungan kepemimpinan demokratis, bawahan merasa termotivasi. Dengan terlibat lebih dalam ketika mengambil keputusan, bawahan merasa lebih senang. Mereka merasa pimpinan menghargai ide dan saran mereka. Dengan lingkungan semacam itu, mereka juga bisa mengaktualisasikan diri dan memberikan yang terbaik bagi perusahaan.
Namun demikian, pengambilan keputusan bisa lebih lambat. Konsensus bisa sulit tercapai, misalnya karena alternatif keputusan saling bertentangan. Masing-masing memiliki pemikiran yang berbeda, yang mana sulit untuk dikompromikan.
Dalam kasus lain, bawahan mungkin lebih mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Dan mereka kurang memperdulikan pihak lain. Akhirnya, keputusan yang diambil dianggap menguntungkan bagi satu pihak dan merugikan pihak lain.
Kepemimpinan laissez-faire
Kepemimpinan laissez-faire, disebut juga dengan kepemimpinan delegatif, memberikan kebebasan yang luas kepada bawahan untuk melaksanakan tugas, melakukan pekerjaan dan membuat keputusan. Pemimpin menetapkan tujuan yang harus dicapai. Kemudian, mereka memberikan otonomi yang luas kepada bawahan untuk mencapainya. Mereka membiarkan bawahan membuat keputusan sendiri dan mengatur pekerjaan mereka sendiri.
Pemimpin membiarkan karyawan melanjutkan pekerjaan mereka dengan gangguan atau pengawasan sesedikit mungkin. Mereka mungkin akan turun tangan jika dibutuhkan. Tapi, itu jarang. Jadi, bawahan bisa dikatakan lebih berperan dominan. Seperti pasar laissez-faire, di mana pasar ditentukan oleh pelaku pasar (permintaan-penawaran), kepemimpinan laissez-faire juga lebih banyak ditentukan oleh bawahan, termasuk kualitas mereka.
Lingkungan kepemimpinan laissez-faire memberikan keleluasaan bagi bawahan untuk mengaktualisasikan diri di area kerja mereka. Itu mendorong mereka untuk menunjukkan kreativitas dan tanggung jawab. Bawahan yang lebih termotivasi adalah keuntungan lainnya.
Tapi, lingkungan ini bisa bekerja buruk jika bawahan memiliki kualitas yang buruk. Kualitas buruk menghasilkan output dan keputusan yang buruk. Selain itu, bawahan mungkin mengambil keputusan untuk kepentingan pribadi dan mengabaikan pihak lain, mengarah pada lebih banyak konflik. Dampak lainnya adalah pengambilan keputusan yang tidak konsisten satu sama lain.
Kemudian, komunikasi menjadi lebih sulit di lingkungan kepemimpinan laissez-faire. Pemimpin tidak memberikan arah yang jelas tentang bagaimana bawahan harus memberikan umpan balik. Selain itu, kontrol yang longgar bisa membuat organisasi kehilangan arah. Pemimpin tidak memantau kemajuan dengan cermat.
Kepemimpinan paternalistik
Kepemimpinan paternalistik (paternalistic leadership) mengedepankan figur pemimpin sebagai pemegang otoritas dominan sekaligus memberi perlindungan kepada bawahan. Pemimpin memperlakukan bawahan seolah-olah keluarga sendiri. Ini mirip seorang bapak berusaha melindungi anaknya. Tapi, mereka memberikan keleluasaan sekaligus mendorong bawahan tetap mandiri. Dan melalui itu semua, mereka mengharapkan kepercayaan dan kesetiaan.
Di bawah kepemimpinan paternalistik, pemimpin peduli pada bawahan. Mereka berusaha untuk membuat bawahan termotivasi dan bahagia. Sehingga, bawahan akan cenderung loyal dan tetap mandiri.
Loyalitas adalah tinggi karena karyawan merasa diakui dan kebutuhan mereka diperhatikan. Perilaku dan pekerjaan yang baik selalu dihargai. Selain itu, keputusan dibuat dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik karyawan.
Tapi, dalam beberapa kasus, bawahan mungkin terlalu kesal dengan atasan karena dianggap terlalu campur tangan. Seperti bapak terhadap anak. Apa yang bapak pikir terbaik buat anak, belum tentu anak menganggapnya demikian.
Dalam kasus lain, bawahan mungkin menjadi terlalu bergantung pada pimpinan. Mereka tidak bisa mandiri karena misalnya dalam mengambil keputusan mereka menunggu arahan dari pemimpin seperti biasanya.
Kepemimpinan karismatik
Kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) mengedepankan pada kualitas pribadi dari pemimpin untuk menggerakkan bawahan menuju tujuan. Untuk efektif, itu bergantung pada pesona dan daya bujuk pemimpin. Mereka harus mampu berkomunikasi secara fasih, persuasif dan memiliki kepribadian yang kuat.
Pemimpin karismatik sering mencoba untuk membuat status quo lebih baik. Mereka berusaha mendorong orang-orang berbuat lebih baik. Dan jika pemimpin adalah seorang visioner, mereka lebih mudah untuk membujuk bawahan. Sehingga, setiap orang berada pada mode yang sama untuk menuju apa yang dicita-citakan pemimpin. Dan mereka memiliki keyakinan dan komitmen kuat terhadap visi.
Meskipun demikian, gaya kepemimpinan karismatik juga memiliki beberapa kontra. Pemimpin mungkin egois dan lebih melihat pada kepentingan mereka. Mereka mungkin lebih mementingkan ambisi atau visi mereka dan kurang memperhatikan bawahan. Selain itu, bawahan juga menjadi tergantung pada pemimpin tentang apa yang harus mereka capai.
Kepemimpinan transaksional
Kepemimpinan transaksional (transactional leadership) mengedepankan pada pengawasan, pengorganisasian, dan kinerja. Gaya ini berakar dari hubungan timbal balik: pemimpin memberikan karyawan sesuatu yang mereka inginkan dan sebagai imbalannya, mereka meminta karyawan untuk melakukan apa – dan sesuai – yang mereka inginkan. Pemimpin menginginkan karyawan patuh dan memenuhi apa yang mereka tetapkan.
Mereka tergantung pada aturan, prosedur dan kebijakan untuk mengoperasikan organisasi. Dan mereka mendorong kepatuhan bawahan melalui penghargaan dan hukuman.
Pemimpin transaksional cenderung melestarikan status quo. Mereka tidak ingin mengubah masa depan dan berusaha menjaga hal-hal tetap sama, melakukan sesuatu seperti biasanya.
Kepemimpinan transformasional
Kontras dengan kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional (transformational leadership) mendorong orang untuk keluar dari status quo. Mereka menginspirasi dan memotivasi bawahan untuk menelurkan ide baru dan berinovasi untuk menciptakan perubahan yang lebih baik. Mereka membangun budaya kemandirian yang kuat di lingkungan kerja. Mereka ingin membentuk tim yang kuat untuk mendukung pertumbuhan dan kesuksesan perusahaan di masa depan.
Pemimpin transformasional menempatkan kepercayaan yang kuat kepada bawahan. Mereka memberi bawahan peluang untuk mengambil keputusan dan dan mencari solusi dari setiap masalah secara mandiri. Lingkungan kepemimpinan ini memberi bawahan ruang yang lebih banyak untuk berkreasi dan mengaktualisasikan diri. Sehingga, selain motivasi dan moral yang tinggi, lingkungan ini juga mendorong bawahan untuk berkinerja lebih baik.
Pemimpin menyelaraskan identitas diri bawahan dengan identitas kolektif organisasi. Sehingga, ada keterikatan antara kepentingan diri dengan kepentingan organisasi. Kemudian, mereka menantang bawahan untuk mengatur dan bertanggung jawab lebih besar terhadap area kerja mereka. Mereka mendorong bawahan untuk memahami kekuatan dan kelemahan bawahan untuk mendorong kinerja yang unggul.
Kepemimpinan situasional
Kepemimpinan situasional (situational leadership) mengedepankan pada adaptasi gaya kepemimpinan untuk lingkungan yang berbeda. Tidak ada gaya kepemimpinan terbaik untuk semua situasi. Dua faktor yang mempengaruhi seberapa efektif kepemimpinan: tugas atau pekerjaan yang harus diselesaikan dan kemampuan dan kemauan bawahan atau tim.
Pemimpin akan efektif ketika mereka menghadapi tugas dan pekerjaan yang relevan. Dan mereka memiliki sumber daya atau bawahan yang mampu dan mau mendukung mereka untuk menyelesaikan tugas mereka. Keduanya menjadi prasyarat. Ketika pemimpin memiliki tim yang kuat tapi harus berhadapan dengan tugas yang tidak masuk akal, gagal kemungkinan lebih besar. Atau, pemimpin menghadapi tugas yang relevan tapi tidak memiliki tim yang mendukung, itu juga akan mengarah pada kegagalan.
Kepemimpinan situasional mengedepankan fleksibilitas untuk beradaptasi dengan lingkungan tugas dan komposisi tim yang berbeda. Pemimpin menyesuaikan gaya mereka untuk setiap situasi agar efektif.
Kepemimpinan situasional penting untuk secara efektif menjalankan tugas dan mendorong perubahan perilaku menuju tujuan. Selain itu, itu memungkinkan karyawan untuk cepat mengembangkan diri dengan kualitas yang lebih baik.
Kepemimpinan etis
Kepemimpinan etis (ethical leadership) mengedepankan pada integritas, kepercayaan, keadilan, kejujuran dan transparansi. Pemimpin memegang prinsip dan nilai bersama, yang mana juga diakui mayoritas. Itu menjadi pijakan untuk membawa orang-orang menuju kebaikan bersama.
Pemimpin yang etis berpegang pada standar yang sama dengan yang dipegang bawahan. Mereka memberikan contoh dan memiliki harapan yang tinggi kepada orang-orang yang mereka pimpin. Dan mereka juga tidak segan untuk menerima kritik atau belajar dari bawahan.
Selain membuat bawahan lebih bahagia berada di tempat kerja, mereka juga mendorong bawahan untuk bertanggung jawab atas pekerjaan mereka. Hasilnya, pemimpin yang etis tidak hanya mempengaruhi hasil. Tapi, mereka juga mengembangkan dan mempengaruhi budaya tempat kerja.
Pemimpin informal
Pemimpin informal (informal leader) adalah mereka yang meski tidak memiliki otoritas, tapi terlibat dalam kepemimpinan. Mereka mampu mempengaruhi lingkungan sekitar dan memiliki beberapa kekuasaan atas rekan kerja. Sebaliknya, rekan kerja menaruh rasa hormat meski tidak menunjuk mereka secara resmi sebagai pemimpin.
Menjadi pemimpin informal mungkin didasarkan pada kualitas pribadi. Pengalaman dan reputasi pemimpin juga bisa menjadi faktor.
Pemimpin formal tidak memegang posisi resmi di dalam organisasi perusahaan. Mereka tidak memiliki memiliki kekuasaan resmi atas orang-orang yang mereka pimpin. Mereka juga tidak bisa meminta kepatuhan untuk mengikuti jejak mereka. Tapi, mereka bisa mempengaruhi keputusan dan memberi dampak pada orang-orang yang mereka pimpin.
Bacaan Selanjutnya
- Gaya Kepemimpinan: Apa Itu? Apa Saja Jenisnya?
- Kepemimpinan Demokratis: Definisi, Ciri, Pro, Kontra
- Kepemimpinan Etis: Pentingnya dan Prinsip-Prinsipnya
- Kepemimpinan Karismatik: Definisi, Contoh, Karakteristik, Pro, Kontra
- Kepemimpinan Laissez-Faire: Karakteristik, Kelebihan, Kekurangan
- Kepemimpinan Otokratis: Definisi, Karakteristik, Contoh, Pro, Kontra
- Kepemimpinan Otoriter: Karakteristik, Pro dan Kontra
- Kepemimpinan Paternalistik: Karakteristik, Keunggulan, Kelemahan
- Kepemimpinan Pelayan: Definisi, Karakteristik
- Kepemimpinan Situasional: Cara Kerja, Tipe, Pro, Kontra
- Kepemimpinan Transaksional: Contoh, Karakteristik, Pro, Kontra
- Kepemimpinan Transformasional: Karakteristik, Mengapa Penting
- Kepemimpinan: Karakteristik dan Jenis Gaya Kepemimpinan
- Pemimpin Informal: Pentingnya Mereka, Cara Menjadi
- Pemimpin Strategis: Karakteristik dan Mengapa Penting