Contents
Output agregat (aggregate output) adalah nilai total barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian selama periode tertentu, biasanya satu tahun. Ekonomi biasanya menggunakan produk domestik bruto (PDB) sebagai ukurannya.
Secara teoritis, output agregat harus sama dengan pendapatan agregat dan pengeluaran agregat. Ketiganya mewakili berbagai cara untuk mengukur angka yang sama.
Mengapa output sama dengan pendapatan dan pengeluaran agregat?
Permintaan agregat mewakili total pembelian barang dan jasa oleh empat sektor utama, mencakup:
- Rumah tangga
- Bisnis
- Pemerintah
- Orang asing
Sedangkan, pendapatan agregat mewakili penghasilan oleh pemasok faktor produksi, mencakup:
- Upah untuk pekerja
- Sewa untuk tanah (land)
- Bunga untuk modal
- Laba untuk pengusaha (pemilik bisnis)
Untuk lebih mudahnya, saya akan menggunakan rumah tangga dan bisnis. Katakanlah bisnis menghasilkan 5 output masing-masing seharga Rp100 (total nilai output Rp500 = 5). Ada sekitar 5 rumah tangga membeli produk tersebut (total pengeluaran Rp500).
Bagi bisnis, uang senilai Rp500 adalah total pendapatan mereka. Mereka kemudian menggunakannya untuk membayar sewa (katakanlah R100), tenaga kerja (Rp120), modal (Rp90) dan sisanya untuk pemilik. Total, pendapatan dari pemasok faktor produksi ini juga sama dengan Rp500.
Selanjutnya, untuk perekonomian, ukuran yang kita gunakan untuk mencerminkannya adalah PDB. Biro statistik menghitungnya dengan menjumlahkan semua nilai barang dan jasa akhir yang diproduksi satu kuartal atau satu tahun. Alternatifnya, pengukuran juga dapat kita lakukan dengan menjumlahkan nilai tambah pada setiap tahap proses produksi dan distribusi.
Jangka pendek vs jangka panjang
Teori ekonomi membedakan output agregat menjadi jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek adalah ketika beberapa biaya input seperti upah nominal tetap.
Dalam grafik, di mana sumbu x mewakili total output dan sumbu y mewakili tingkat harga agregat, kurva output agregat jangka pendek miring ke atas. Ini menunjukkan bahwa tingkat harga yang lebih tinggi menghasilkan output yang lebih besar.
Jangka panjang mengacu pada situasi di mana harga input diasumsikan fleksibel. Output jangka panjang mewakili output potensial suatu perekonomian. Terkadang kita juga menyebutnya sebagai output ekonomi pada tingkat lapangan kerja penuh (full employment).
Faktor yang mempengaruhi output agregat
Untuk membahas faktor yang mempengaruhi, anda perlu membedakan dua konsep terlebih dahulu: Jangka pendek Vs jangka panjang. Beberapa faktor yang meningkatkan output agregat jangka pendek adalah:
- Penurunan harga input (upah nominal, bahan baku dan energi) – harga input yang lebih murah menurunkan biaya produksi.
- Ekspektasi harga yang lebih tinggi di masa depan – Bisnis meningkatkan pasokan untuk mengantisipasi margin laba yang lebih tinggi di masa depan.
- Subsidi bisnis – subsidi yang lebih tinggi mengurangi biaya produksi, mendorong peningkatan output.
- Pajak bisnis lebih rendah – penurunan tarif pajak bisnis menurunkan biaya produksi.
- Nilai tukar – apresiasi mata uang domestik membuat impor input lebih murah, mendorong bisnis meningkatkan produksi
- Peningkatan kuantitas dan perbaikan kualitas faktor produksi
- Perbaikan teknologi
Sementara itu, output agregat jangka panjang hanya tergantung pada kuantitas dan kualitas faktor produksi. Faktor yang mempengaruhi biaya produksi tidak berpengaruh. Output potensial dapat meningkat jika:
- Pasokan tenaga kerja meningkat, misalnya melalui pendidikan
- Peningkatan ketersediaan sumber daya alam
- Peningkatan kualitas dan kuantitas modal fisik
- Peningkatan produktivitas, misalnya melalui pelatihan
- Teknologi lebih maju, memungkinkan output lebih banyak dengan input yang sama.
Pengaruh perubahan permintaan agregat terhadap output agregat
Keseimbangan makroekonomi tercapai ketika output agregat bersinggungan dengan permintaan agregat. Penurunan permintaan agregat dapat menyebabkan kontraksi ekonomi. Dalam situasi ini, output agregat jangka pendek di bawah output potensialnya. Akibatnya, total output dan tingkat harga akan cenderung menurun. Kita menyebut kondisi ini sebagai “kesenjangan deflasioner”.
Sebaliknya, ketika permintaan agregat meningkat, output akan menghasilkan di atas kapasitas produktifnya (output potensial). Ini akan menyebabkan tekanan ke atas tingkat harga dalam perekonomian. Kondisi ini kita sebut “kesenjangan inflasioner (inflationary gap)“.
Anda perlu ingat, kesenjangan deflasioner belum tentu menghasilkan deflasi. Pada saat terjadi, bisa saja perekonomian masih mengalami inflasi, namun dengan kecenderungan untuk melambat.Begitu juga, kesenjangan inflasioner belum tentu menghasilkan inflasi. Bisa saja, ketika itu terjadi, perekonomian masih deflasi (katakanlah -0.1%), namun itu lebih tinggi daripada sebelumnya (misalnya -2%).