Contents
Apa itu: Tingkat inflasi (inflation rate) adalah persentase perubahan harga-harga barang dan jasa di dalam perekonomian selama periode tertentu. Jika inflasi memberitahu kita tentang suatu keadaan di mana harga barang dan jasa meningkat atau menurun, maka tingkat inflasi menunjukkan ke kita berapa persen peningkatan atau penurunan tersebut.
Inflasi berlaku untuk harga barang dan jasa secara agregat. Jadi, misalnya, jika harga sebuah barang meningkat, itu bukanlah inflasi. Melainkan, ketika terjadi inflasi, harga hampir semua barang dan jasa di dalam perekonomian meningkat.
Mengapa inflasi penting dalam perekonomian?
Inflasi menjadi salah satu indikator ekonomi yang banyak diamati selain pertumbuhan ekonomi, nilai tukar dan suku bunga. Misalnya, bank sentral mengamatinya trennya untuk mengambil kebijakan moneter.
Secara umum, inflasi mengikis daya beli uang. Ketika itu tinggi, kita harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan barang yang sama. Ambil contoh yang disederhanakan. Kita harus mengeluarkan $1 untuk mendapatkan sebuah barang. Namun, karena harganya naik, misalnya, menjadi $2, kita harus menghabiskan dolar lebih banyak untuk mendapatkannya.
Jadi, ketika ada inflasi, satu dolar di masa lalu lebih bernilai daripada satu dolar saat ini. Kita mendapatkan lebih sedikit barang saat ini daripada yang kita dapatkan di masa lalu. Sehingga, semakin tinggi tingkat inflasi, semakin tidak bernilai dolar yang kita miliki.
Inflasi biasa terjadi selama ekspansi ekonomi. Pada periode ini, perekonomian makmur di mana tingkat pengangguran rendah. Rumah tangga optimis tentang pendapatan dan pekerjaan mereka, mendorong mereka untuk membelanjakan lebih banyak dolar ke barang dan jasa. Peningkatan permintaan akhirnya mendorong harga barang dan jasa untuk naik.
Jadi, peningkatan moderat inflasi menunjukkan ke kita perekonomian yang sedang tumbuh. Dalam kasus ini, inflasi tidak menjadi masalah. Sebaliknya, itu bisa mengindikasikan perekonomian sedang makmur.
Namun, jika inflasi melonjak tinggi, itu bisa buruk bagi perekonomian. Dolar yang kita miliki menguap nilainya ketika kita menggunakannya untuk membeli barang dan jasa. Dan lajunya yang tidak terkendali – seperti selama hiperinflasi – dapat menghancurkan stabilitas ekonomi. Itu bisa mengganggu sistem moneter, menyebabkan risiko politik, bencana sosial dan menghambat investasi di negara-negara tersebut. Orang-orang kehilangan kepercayaan terhadap mata uang domestik. Anda bisa mendalami apa yang terjadi di Venezuela untuk contohnya.
Beberapa negara menargetkan inflasi sebagai jangkar kebijakan mereka. Mereka menentukan batasan tingkat inflasi yang dapat diterima. Misalnya, di Amerika Serikat, bank sentral menargetkan inflasi di sekitar 2%. Jika lebih tinggi atau lebih rendah, bank sentral akan mengintervensi perekonomian dengan mengetatkan kebijakan moneter. Dengan penargetan tersebut, semua orang percaya bank sentral akan mengendalikan inflasi lebih stabil. Dan bagi pelaku ekonomi, stabilitas tersebut penting dalam membuat keputusan ekonomi seperti keputusan pengeluaran dan investasi.
Bagaimana mengukur tingkat inflasi?
Jika kita ingin menghitung tingkat inflasi, kita harus memperhitungkan semua barang dan jasa. Dan ekonom kemudian mengenalkan indeks harga untuk mempermudah perhitungan. Tiga indeks yang umum untuk mengukur inflasi, yakni:
- Indeks harga konsumen (IHK)
- Indeks harga produsen (IHP)
- Deflator PDB
Indeks harga tersebut mewakili tren harga dari sekeranjang barang dan jasa. Bagaimana menghitungnya akan bervariasi, baik terkait dengan jenis barang dan jasa yang dimasukkan maupun bobot dalam perhitungan. Misalnya, indeks harga konsumen melacak harga barang dan jasa yang dibeli oleh konsumen. Sedangkan, indeks harga produsen melacak barang dan jasa yang dibeli oleh produsen. Dan deflator PDB memperhitungkan seluruh barang dan jasa di dalam perekonomian, dihitung dengan membagi PDB nominal ke PDB riil.
Dari ketiga indeks tersebut, indeks harga konsumen biasanya menjadi indikator inflasi yang banyak dikutip. Misalnya, bank sentral-bank sentral menggunakannya sebagai jangkar untuk mengambil kebijakan moneter. Mereka kemudian memecah lagi indeksnya dan fokus pada inflasi inti, yakni indeks harga konsumen tanpa memperhitungkan komponen yang volatile seperti energi dan makanan.
Sekarang, mari kita simulasikan cara menghitung tingkat inflasi menggunakan indeks harga konsumen. Bagaimana cara menghitungnya? Pertama, kita harus mendapatkan angka IHK periode saat ini dengan periode sebelumnya. Kedua, kita membagi IHK saat ini dengan IHK periode sebelumnya. Ketiga, kita kemudian mengurangi hasilnya dengan 1 dan mengalikan hasilnya dengan 100%. Berikut adalah rumus dari tingkat inflasi:
- Tingkat inflasi = [(IHKt / IHKt-1) -1] x 100%
Katakanlah, IHK di tahun 2020 adalah 132. Angkanya naik menjadi 140 pada tahun 2021. Menerapkan rumus di atas, kita mendapatkan tingkat inflasi sebesar 6,1% = [(140/132) -1] x 100%. Itu menunjukkan bahwa secara umum harga barang dan jasa yang dibeli konsumen naik 6,1% sepanjang tahun 2021.
Apa saja jenis inflasi? Apa penyebabnya?
Kenaikan harga barang dan jasa bisa terjadi karena masalah pasokan atau permintaan. Atau, itu juga terjadi karena masalah ekspektasi, yang mana mengakibatkan harga mengarah pada tren yang diekspektasikan. Misalnya, ketika kita mengekspektasikan harga barang naik di bulan depan, kita akan memutuskan untuk berbelanja sekarang sebelum kita harus membayar mahal di bulan depan. Akhirnya, permintaan kita naik dan mengakibatkan harganya benar-benar naik.
Dan, secara umum, ekonom membagi inflasi menjadi tiga kategori berdasarkan penyebabnya. Mereka adalah:
- Inflasi dorongan biaya (cost-push inflation)
- Inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation)
- Inflasi bawaan (built-in inflation)
Demand-pull inflation
Demand-pull inflation terjadi akibat peningkatan permintaan di dalam perekonomian. Biasanya, jenis inflasi ini akan mengikuti siklus ekonomi. Itu akan naik selama ekspansi ekonomi dan menurun selama kontraksi ekonomi.
Selama ekspansi ekonomi, perekonomian lebih makmur. Rumah tangga melihat prospek pendapatan dan pekerjaan mereka membaik, mendorong mereka untuk meningkatkan belanja terhadap barang dan jasa. Sebagai hasilnya, permintaan agregat meningkat dan menggeser kurvanya ke kanan. Situasi ini menciptakan tekanan ke atas pada harga barang dan jasa.
Menanggapi permintaan yang meningkat dan kenaikan harga, bisnis kemudian meningkatkan produksinya. Dan, peningkatan lebih lanjut dalam permintaan agregat akan membuat perekonomian beroperasi di atas output potensialnya (kesenjangan output positif atau kesenjangan inflasioner).
Kesenjangan output positif menunjukkan kapasitas produksi dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi permintaan agregat. Oleh karena itu, perekonomian harus memasoknya dari luar negeri (impor meningkat). Selain itu, bisnis menghadapi biaya produksi yang naik karena pasar tenaga kerja yang lebih ketat. Mereka sulit untuk mendapatkan tenaga kerja baru yang berkualitas tanpa menawarkan upah yang lebih tinggi. Untuk mempertahankan margin keuntungan, mereka kemudian meneruskan kenaikan biaya ke harga jual.
Situasi yang berkebalikan terjadi selama kontraksi atau resesi ekonomi. Selama periode ini, permintaan agregat menurun. Rumah tangga melihat prospek pendapatan dan pekerjaan mereka memburuk, memaksa mereka untuk lebih banyak berhemat dan mengurangi konsumsi.
Selama resesi, perekonomian beroperasi di bawah output potensialnya (kesenjangan output negatif atau kesenjangan kontraksioner). Akibatnya, ada tekanan ke bawah terhadap harga barang dan jasa di dalam perekonomian. Dalam situasi ini, tingkat inflasi mungkin melambat (disinflasi) atau yang lebih buruk, itu menuju teritori negatif (deflasi).
Cost-push inflation
Cost-push inflation terjadi akibat masalah di sisi penawaran. Ketika terjadi guncangan, penawaran menurun dan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa. Misalnya, bencana alam atau perang bisa menyebabkan guncangan sisi pasokan dan menyusutkan pasokan secara tiba-tiba. Akhirnya, itu mendorong naik harga barang dan jasa.
Penyebab inflasi dorongan biaya lainnya adalah kenaikan biaya produksi. Contohnya adalah kenaikan harga minyak. Karena minyak digunakan hampir di semua sektor, mulai dari sebagai bahan bakar hingga plastik, maka kenaikannya menyebabkan biaya produksi meningkat. Situasi ini kemudian memaksa bisnis untuk menaikkan harga jual mereka demi mempertahankan margin profitabilitasnya. Sebagai hasilnya, harga barang dan jasa di dalam perekonomian merangkak naik.
Lonjakan inflasi akibat kenaikan harga minyak pernah terjadi di Amerika Serikat selama periode stagflasi di tahun 1980-an. Harga minyak menyentuh level di atas $100 per barel (dalam dolar 2019) dan mengakibatkan tingkat inflasi berada di atas double digit.
Built-in inflation
Built-in inflation terjadi karena ekspektasi adaptif dan spiral upah-harga, yang mana menciptakan tekanan inflasi di masa depan. Inflasi ini membentuk komponen inflasi inti dalam indeks harga konsumen.
Bagaimana ekspektasi mempengaruhi inflasi? Mari kita ambil contoh sederhana. Ketika kita memperkirakan harga barang akan naik di bulan depan, kita akan cenderung untuk berbelanja sekarang. Kita mengharapkan untuk mendapatkan dolar yang lebih murah sebelum harganya naik di bulan depan. Akibatnya, ada kenaikan permintaan saat ini. Dan, itu mendorong kenaikan harga barang tersebut saat ini.
Kemudian, di bulan depan, karena tren harga cenderung naik, kita mengekspektasikan harga akan naik lagi, mendorong lagi permintaan dan harga. Situasi ini terus berlanjut. Sehingga, ekspektasi kita – meski kenaikan harga belum terjadi – mengakibatkan harga benar-benar naik.
Built-in inflation juga terjadi akibat spiral upah-harga. Selama inflasi, pekerja menyadari upah riil mereka menurun karena harga barang dan jasa naik lebih cepat daripada upah nominal mereka. Akibatnya, daya beli mereka menurun. Mereka kemudian menuntut upah nominal yang lebih tinggi untuk mempertahankan biaya hidup dan mengkompensasi inflasi.
Kenaikan upah mengakibatkan biaya produksi naik. Karena upah mencakup sebagian besar dari biaya, bisnis menghadapi penurunan margin keuntungan. Untuk mengatasi situasi ini, mereka kemudian meneruskan kenaikan upah nominal tersebut ke harga jual. Akibatnya, harga naik dan inflasi meningkat lebih tinggi.
Karena inflasi naik lebih tinggi, itu memaksa pekerja untuk menegosiasikan kembali upah yang lebih tinggi. Dan kenaikan upah mengakibatkan inflasi jauh lebih tinggi. Situasi ini terus berlanjut dan menciptakan efek spiral upah-harga.
Apa saja istilah-istilah kunci terkait dengan tingkat inflasi?
Ketika kita belajar tentang inflasi, kita akan menemukan beberapa istilah kunci seperti deflasi, disinflasi, reflasi, dan lain sebagainya. Mari kita bahas singkat mereka.
Deflasi terjadi ketika tingkat inflasi berada pada teritori negatif (di bawah nol). Itu biasanya terjadi selama resesi ekonomi. Misalnya, tingkat inflasi di Amerika Serikat berada pada -0,4% pada tahun 2009.
Disinflasi terjadi jika tingkat inflasi melambat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ini umum terjadi selama siklus bisnis dan tidak membahayakan bagi perekonomian. Misalnya, tingkat inflasi di Amerika Serikat melambat dari 2,4% pada tahun 2018 menjadi 1,8% pada tahun 2019 dan 1,2% pada tahun 2020.
Reflasi merujuk pada fase pertama inflasi setelah periode deflasi. Selama resesi, pemerintah biasanya akan merangsang ekonomi dengan meningkatkan jumlah uang beredar atau dengan mengurangi pajak untuk membawa perekonomian keluar dari resesi. Jika berhasil, inflasi biasanya akan merangkak naik dan keluar dari teritori negatif.
Stagflasi adalah situasi dimana inflasi tinggi menyertai pertumbuhan ekonomi yang stagnan atau bahkan menurun. Kita bisa membedahnya menjadi dua istilah “pertumbuhan stagnan” dan “inflasi”. Itu pernah terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1980-an.
Creeping inflation atau mild inflation terjadi ketika tingkat inflasi naik sekitar 3% atau kurang per tahun. Situasi ini dianggap menguntungkan pertumbuhan ekonomi, tidak membahayakan perekonomian, dan dekat dengan target inflasi bank sentral (di negara maju biasanya sekitar 2%).
Walking inflation adalah situasi ketika persentase inflasi berada di atas 3% namun di bawah 10% per tahun. Selama periode ini, perekonomian dianggap terlalu panas, mendorong bank sentral untuk mengambil kebijakan moneter ketat untuk memoderasinya.
Galloping inflation adalah ketika inflasi berada di atas 10% per tahun atau mungkin berada di kisaran 50% lebih, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan hiperinflasi. Situasi ini berbahaya dan mengharuskan intervensi segera sebelum mengarah ke hiperinflasi.
Hiperinflasi adalah kondisi di mana inflasi melonjak dan dapat mencapai hingga 500% dalam sebulan. Zimbabwe dan Venezuela adalah yang baru-baru ini mengalaminya. Penyebabnya bisa terjadi karena guncangan pasokan, perang, atau transisi rezim yang disertai dengan pergolakan.
Bagaimana pemerintah mempengaruhi tingkat inflasi?
Pemerintah bisa mempengaruhi inflasi melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal berjalan melalui perubahan anggaran pemerintah. Sedangkan, kebijakan moneter bekerja melalui perubahan jumlah uang yang beredar (money supply) di dalam perekonomian.
Kedua kebijakan tersebut dikategorikan menjadi dua berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. Kebijakan ekonomi untuk meredam laju inflasi disebut dengan kebijakan kontraksioner. Itu bisa melalui kebijakan fiskal kontraksioner atau kebijakan moneter kontraksioner. Kebijakan ini biasanya diambil ketika perekonomian terlalu panas di mana tingkat inflasi berada pada level yang tinggi. Situasi ini biasanya terjadi pada fase akhir ekspansi ekonomi (disebut dengan ledakan ekonomi atau economic boom).
Sementara itu, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi disebut sebagai kebijakan ekspansioner. Pemerintah bisa menempuhnya melalui kebijakan fiskal ekspansioner atau kebijakan moneter ekspansioner. Pemerintah biasanya menjalankan kebijakan ini untuk mengeluarkan perekonomian dari resesi.
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal bekerja melalui perubahan belanja dan pendapatan pemerintah. Misalnya, pemerintah mengambil kebijakan fiskal kontraksioner untuk meredam laju inflasi. Pemerintah akan melakukannya dengan menaikkan pajak atau mengurangi belanjanya.
Sekarang, katakanlah, pemerintah menaikkan pajak. Kenaikan tersebut menyebabkan rumah tangga dan bisnis mengeluarkan lebih banyak dolar untuk membayar pajak. Sehingga, mereka memiliki lebih sedikit dolar untuk belanja barang dan jasa. Akibatnya, permintaan cenderung melemah karena lebih sedikit dolar dihabiskan untuk barang dan jasa.
Permintaan yang lemah memperlambat laju kenaikan harga barang dan jasa. Situasi tersebut kemudian mendorong produsen untuk mengurangi produksinya sebagai respon pelemahan permintaan dan harga. Akibatnya, itu membuat output perekonomian tumbuh lebih lambat.
Kebijakan moneter
Bank sentral bertanggung jawab untuk menjalankan kebijakan moneter. Dan kebijakan tersebut mempengaruhi perekonomian melalui efeknya terhadap jumlah uang beredar, yang mana pada akhirnya mempengaruhi permintaan agregat. Tiga alat kebijakan moneter yang umum adalah:
- Suku bunga kebijakan (policy rate)
- Rasio giro wajib minimum (reserve requirement ratio)
- Operasi pasar terbuka (open market operation)
Katakanlah, bank sentral ingin meredam tingkat inflasi dengan menjalankan kebijakan moneter kontraksioner (kebijakan moneter ketat). Bank sentral akan melakukannya dengan menggunakan satu atau mengkombinasikan pilihan berikut:
- Menaikkan suku bunga kebijakan
- Menaikkan rasio giro wajib minimum
- Operasi pasar terbuka dengan menjual surat berharga pemerintah
Misalnya, bank sentral memilih untuk menaikkan suku bunga. Kenaikan tersebut akan menyebabkan lebih sedikit uang bersirkulasi di dalam perekonomian. Akibatnya, likuiditas mengetat dan mendorong naik suku bunga di pasar keuangan.
Karena suku bunga naik, biaya meminjam menjadi lebih mahal. Konsumen dan bisnis akan mengurangi pinjaman untuk membiayai konsumsi dan investasi karena lebih mahal. Situasi ini akhirnya mengakibatkan permintaan agregat melemah dan memperlambat kenaikan tingkat harga.
Bacaan selanjutnya
- Tingkat Inflasi: Cara Menghitung, Jenis, Efek Kebijakan Ekonomi
- Tingkat Pengangguran: Konsep, Formula, Jenis, Penyebab, dan Efek
- Neraca Pembayaran: Definisi, Rumus, Komponen, Pentingnya
- Pertumbuhan Ekonomi: Faktor, Pentingnya, Dampak, Cara Mengukurnya
- Distribusi Pendapatan: Cara Mengukur dan Mengatasi Ketimpangan
- Apa 5 Sasaran Makroekonomi?
- Kemungkinan Konflik Antara Tujuan Makroekonomi