Contents
Apa itu: Guncangan ekonomi yang merugikan (adverse economic shock) adalah perubahan dalam permintaan dan penawaran agregat secara tiba-tiba, tidak terduga, dan secara dramatis menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian. Misalnya, guncangan mengakibatkan inflasi tinggi dan tidak terkendali. Atau, itu menyebabkan resesi. Dalam kasus lain, itu menimbulkan stagflasi, di mana resesi dan inflasi tinggi berlangsung pada saat bersamaan. Tiga dampak tersebut menjadi topik utama di artikel ini.
Berdasarkan sumbernya, guncangan muncul akibat guncangan penawaran yang merugikan dan guncangan permintaan yang merugikan. Itu terjadi akibat perubahan dalam faktor eksternal, umumnya adalah penentu permintaan agregat dan penawaran agregat. Hanya saja, itu berbeda dari perubahan normal. Melainkan, guncangan terjadi secara tiba-tiba dan berdampak dramatis terhadap perekonomian.
Apa itu guncangan penawaran yang merugikan?
Guncangan penawaran yang merugikan terjadi ketika penawaran agregat berubah secara dramatis dan menimbulkan konsekuensi negatif. Biasanya, itu diidentikkan dengan guncangan negatif.
Guncangan negatif mengakibatkan output agregat jatuh. Tapi, pada saat yang sama, itu juga menyebabkan tingkat harga naik (inflasi melonjak). Situasi ini mengarah pada apa yang kita sebut sebagai stagflasi.
Sebaliknya, guncangan positif penawaran mengarah pada peningkatan output pada tingkat harga yang lebih rendah. Ini dianggap menguntungkan karena perekonomian tumbuh pada tingkat inflasi yang rendah.
Faktor apa saja yang menyebabkan guncangan penawaran yang merugikan?
Bencana seperti banjir, gempa bumi dan kekeringan menyebabkan guncangan negatif penawaran. Mereka mengakibatkan output jatuh. Selain itu, Mereka juga mengakibatkan transportasi tersendat, mengganggu rantai pasokan.
Pandemi Covid-19 adalah contoh baru-baru ini, yang mana mendisrupsi rantai pasokan di banyak negara. Itu mengakibatkan jatuhnya perekonomian dunia, dari 2,9% pada tahun 2019 menjadi -3,1% pada tahun 2020.
Selain bencana, guncangan penawaran yang merugikan juga terjadi karena perubahan dramatis dalam:
- Kenaikan upah
- Kenaikan harga minyak
- Depresiasi tajam nilai tukar
- Perpolitikan, seperti perang di Ukraina
Faktor-faktor di atas adalah sebuah guncangan jika perubahan mereka terjadi secara tiba-tiba, tidak terduga dan berdampak dramatis pada penurunan penawaran agregat. Tapi, sebaliknya, jika perubahan mereka hanya berlangsung secara normal, itu bukanlah guncangan.
Misalnya, kenaikan moderat pada harga minyak mungkin tidak menimbulkan guncangan. Itu mungkin hanya menyebabkan kenaikan moderat pada biaya produksi. Tapi, jika itu naik tajam, guncangan penawaran muncul karena meningkatkan biaya produksi melonjak secara dramatis.
Bagaimana guncangan penawaran yang merugikan menyebabkan stagflasi?
Ambil kenaikan dramatis harga minyak sebagai contoh. Minyak digunakan banyak industri, mulai plastik hingga transportasi. Sehinga, kenaikannya meningkatkan biaya produksi.
Kenaikan biaya produksi mendorong bisnis memangkas output mereka. Sebagai akibatnya, penawaran agregat jangka pendek jatuh, menggeser kurvanya ke kiri (dari SRAS0 ke SRAS1).
Katakanlah, sebelum guncangan terjadi, perekonomian beroperasi pada lapangan kerja penuh (di titik C). Sehingga, pergeseran ke kiri kurva SRAS0 ke SRAS1 mengakibatkan ekuilibrium jangka pendek berada di sebelah kiri (di titik B), mengasumsikan permintaan agregat tidak berubah. Akibatnya, output agregat turun dari potential GDP ke GDP2. Sementara itu, tingkat harga naik dari P2 ke P0. Singkat cerita, perekonomian menghadapi penurunan output dan kenaikan inflasi. Situasi ini dikenal dengan stagflasi – kombinasi kata “Stagnan” dan “Inflasi”.
Guncangan mengakibatkan ekuilibrium jangka pendek bergerak dari titik C ke titik B. Di ekuilibrium jangka pendek yang baru, perekonomian beroperasi di bawah output potensialnya. Beberapa sumber daya ekonomi menganggur, mengarah pada tingkat pengangguran yang lebih tinggi.
Amerika Serikat mengalami stagflasi pada tahun 1970-an. Pada saat itu, OPEC, terutama anggota di wilayah arab, mengumumkan embargo minyak untuk melawan negara-negara barat yang mana mendukung Israel selama Perang Yom Kippur. Ini kemudian memicu krisis energi karena harga minyak melonjak hingga 400%.
Krisis minyak kemudian berlanjut di tahun 1980-an. Harga minyak melonjak dari sekitar $15 per barel pada tahun 1978 menjadi sekitar $37 per barel pada tahun 1980. Akibatnya, inflasi di Amerika Serikat meroket hampir dua kali lipat. Sebaliknya, PDB riil Amerika Serikat terkontraksi setelah tahun sebelumnya tumbuh positif.
Bagaimana pemerintah mengintervensi perekonomian untuk menghadapi guncangan penawaran yang merugikan?
Menurut ekonom Neoklasik, pemerintah seharusnya tidak mengintervensi karena perekonomian akan kembali menuju ekuilibriumnya yang baru, disebut dengan proses penyesuaian diri (self‐adjustment process). Penurunan tingkat harga mengakibatkan upah riil naik karena upah nominal yang kaku untuk turun. Akibatnya, perusahaan memiliki kesempatan untuk memangkas upah nominal pada tingkat yang lebih lambat daripada penurunan tingkat harga. Pekerja seharusnya, secara teori, bersedia menerimanya karena upah riil mereka tidak banyak berubah.
Pemangkasan upah nominal menurunkan biaya produksi. Sehingga, bisnis melihat margin per unit yang lebih tinggi. Situasi ini mendorong mereka untuk meningkatkan output. Sebagai hasilnya, output agregat meningkatkan, mengembalikan perekonomian menuju ekuilibrium jangka panjang.
Selain itu, proses penyesuaian diri berjalan seiring waktu dengan menurunnya harga minyak. Selama harga tinggi, produsen minyak menghadapi penurunan permintaan. Akibatnya, melemahnya permintaan menurunkan harga minyak seiring waktu. Bagi perekonomian, penurunan harga minyak mendorong kurva penawaran agregat jangka pendek bergeser kembali ke kanan. Dan secara perlahan, perekonomian menuju lapangan kerja penuh.
Proses penyesuaian diri bisa berlangsung lama. Karena alasan ini, pemerintah mungkin lebih memilih untuk mengenalkan kebijakan ketat untuk mengembalikan perekonomian ke output potensialnya. Misalnya, bank sentral menurunkan suku bunga.
Suku bunga yang lebih rendah mendorong rumah tangga untuk meningkatkan permintaan terhadap barang dan jasa. Akibatnya, permintaan agregat meningkat dan mengggeser kurvanya ke kanan (dari AD0 ke AD1). Dan perekonomian kembali ke output potensial, tapi pada tingkat harga yang lebih tinggi.
Inflasi yang lebih tinggi tentu saja tidak diinginkan. Inilah alasan mengapa stagflasi menjadi dilema bagi pemerintah dan bank sentral. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter hanya berdampak pada permintaan agregat. Memang, kebijakan longgar meningkatkan output dan merangsang pertumbuhan ekonomi. Tapi, itu juga menyebabkan inflasi naik lebih tinggi. Itu terjadi karena kedua kebijakan tidak mengatasi masalah inti, yakni guncangan sisi penawaran agregat.
Apa itu guncangan permintaan yang merugikan?
Guncangan permintaan yang merugikan merujuk pada perubahan tiba-tiba dan dramatis dalam permintaan agregat akibat perubahan faktor eksternal. Itu bisa berupa guncangan positif atau negatif.
Guncangan positif mengakibatkan permintaan agregat meningkat drastis, mendorong peningkatan tajam inflasi. Situasi ini bisa membahayakan perekonomian karena daya beli uang turun. Inflasi bisa semakin tidak terkendali dan mengarah pada hiperinflasi misalnya, melalui spiral upah-harga.
Guncangan negatif juga merugikan perekonomian. Jatuhnya permintaan agregat bisa mengarah perekonomian menuju resesi di mana output perekonomian jatuh. Jika berlangsung cukup lama, itu bisa mengarah pada deflasi, yang mana juga membahayakan perekonomian.
Faktor apa saja yang menyebabkan guncangan permintaan yang merugikan?
Guncangan permintaan yang merugikan bisa terjadi karena:
- Krisis kepercayaan konsumen
- Resesi perekonomian global
- Kenaikan dramatis pajak
- Kenaikan tajam suku bunga
- Apresiasi parah nilai tukar
Faktor-faktor di atas menyebabkan guncangan negatif, yang mana menurunkan permintaan agregat. Situasi ini bisa menyebabkan resesi.
Kemudian, jika faktor-faktor di atas berubah secara berkebalikan, itu menghasilkan guncangan positif. Sebagai akibatnya, permintaan agregat meningkat. Tapi, situasi ini juga dapat menghasilkan dampak yang merugikan lainnya, yakni kenaikan tajam inflasi.
Ingat: perubahan faktor-faktor di atas menghasilkan guncangan hanya jika menyebabkan permintaan agregat berubah secara tiba-tiba dan dramatis.
Bagaimana guncangan penawaran yang merugikan menyebabkan resesi?
Asumsikan perekonomian sedang beroperasi di output potensial di titik A.
Misalnya, bank sentral menaikkan suku bunga secara agresif. Kebijakan ini membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal, mendorong konsumen memangkas konsumsi. Demikian juga, kenaikan suku bunga membuat biaya investasi menjadi lebih mahal, mendorong mereka memangkas belanja modal. Situasi ini akhirnya mengarah pada penurunan permintaan agregat.
Penurunan permintaan agregat menggeser kurvanya ke kiri (dari AD1 ke AD0). Akibatnya, output perekonomian jatuh, dari potential GDP ke GDP2 sementara tingkat harga turun dari P1 ke P0. Dan ekuilibrium jangka pendek bergerak dari titik A ke titik B, mengasumsikan kurva penawaran agregat jangka pendek tidak bergeser.
Karena ekuilibrium berada di sebelah kiri kurva penawaran agregat jangka panjang (LRAS), perekonomian beroperasi di bawah kapasitas penuhnya. Beberapa sumber daya menganggur. Sebagai hasilnya, tingkat pengangguran meningkat menyertai penurunan output agregat.
Jika berlangsung lama, penurunan tingkat harga bisa mengarah ke deflasi di mana tingkat inflasi berada pada zona negatif, misalnya dari 2% ke -3%. Meski terlihat menguntungkan, deflasi – tidak hanya inflasi tinggi – juga berbahaya bagi perekonomian.
Ketika deflasi berlangsung, harga barang dan jasa turun. Situasi ini akan mendorong konsumen untuk menunda pembelian sekarang mereka untuk mendapatkan harga yang lebih murah di masa depan. Penundaan pembelian melemahkan permintaan lebih lanjut. Akhirnya, bisnis memangkas produksi, mengakibatkan output turun lebih lanjut.
Bagaimana guncangan penawaran yang merugikan menyebabkan inflasi tinggi?
Sekali lagi, asumsikan perekonomian sedang beroperasi di output potensial, tapi, sekarang di titik C.
Misalnya, perekonomian global tumbuh kuat, menyebabkan ekspor meningkat. Ekspor yang lebih tinggi meningkatkan permintaan agregat dan menggeser kurvanya ke kanan, dari AD0 ke AD1. Sebagai akibatnya, ekuilibrium jangka pendek bergerak dari titik C ke titik D, mengasumsikan penawaran agregat jangka pendek tidak berubah.
Ketika menuju ke titik D, output agregat meningkat (dari potential GDP ke GDP1) disertai dengan kenaikan tingkat harga (dari P2 ke P0). Dan perekonomian beroperasi di atas kapasitas penuhnya.
Karena beroperasi melebihi output potensialnya, perekonomian menghadapi tekanan yang kuat atas inflasi. Selain itu, tingkat pengangguran turun dan pasar tenaga kerja menjadi lebih ketat. Dan penurunan lebih lanjut tingkat pengangguran hanya akan membawah tekanan inflasi semakin tinggi.
Jika situasi tersebut tidak diatasi, inflasi bisa naik menjadi tidak terkendali. Dan itu membahayakan perekonomian. Misalnya, inflasi tinggi memaksa pekerja menegosiasikan upah yang lebih tinggi untuk mengkompensasi penurunan daya beli. Akhirnya, produsen meneruskan kenaikan upah ke harga jual. Sebagai hasilnya, inflasi naik lebih tinggi.
Kenaikan lebih tinggi inflasi sekali lagi memaksa pekerja untuk meminta upah lebih tinggi, mendorong naik biaya dan akhirnya, mendorong kenaikan harga jual. Situasi ini terus berlanjut dan menciptakan spiral upah-harga.
Spiral bisa menyebabkan inflasi menjadi tidak terkendali. Perekonomian menjadi terlalu panas karena inflasi yang melonjak. Dan untuk memoderasi tekanan inflasi, pemerintah biasanya akan meluncurkan kebijakan ekonomi yang lebih ketat.
Bagaimana pemerintah mengintervensi perekonomian untuk menghadapi guncangan permintaan yang merugikan?
Ketika resesi berlangsung akibat guncangan permintaan negatif, pemerintah akan melonggarkan kebijakan fiskal untuk merangsang pertumbuhan dengan:
- Meningkatkan pengeluaran
- Memangkas pajak
Sementara itu, di sisi moneter, bank sentral akan mengadopsi kebijakan moneter longgar dengan:
- Memangkas suku bunga
- Menurunkan rasio persyaratan cadangan
- Operasi pasar terbuka dengan membeli surat berharga pemerintah
Kebijakan-kebijakan di atas mendorong permintaan agregat meningkat. Misalnya, pemangkasan suku bunga mendorong rumah tangga untuk meningkatkan pengeluaran konsumsi.
Bisnis kemudian merespon situasi ini dengan meningkatkan output mereka karena mereka melihat permintaan yang lebih kuat. Jika mereka melihat permintaan masih akan kuat ke depan, mereka akan berinvestasi di barang modal dan merekrut tenaga kerja untuk menaikkan output. Akhirnya, lebih banyak pekerjaan dan pendapatan tercipta di dalam perekonomian, mendorong permintaan agregat meningkat lebih lanjut dan menggeser kurvanya ke kanan.
Sementara itu, untuk menghadapi guncangan positif – yang mana mengakibatkan tekanan kuat inflasi – pemerintah mengetatkan kebijakan fiskal dengan:
- Memangkas pengeluaran
- Menaikkan pajak
Sementara itu, bank sentral akan mengadopsi kebijakan moneter ketat dengan:
- Menaikkan suku bunga
- Menaikkan rasio persyaratan cadangan
- Operasi pasar terbuka dengan menjual surat berharga pemerintah
Dua kebijakan tersebut menurunkan permintaan agregat dan menggeser kurvanya ke kiri. Akibatnya, tekanan inflasi mereda tapi itu disertai dengan penurunan output agregat.
Bacaan selanjutnya
- Guncangan Permintaan: Definisi dan Penjelasan Singkat
- Guncangan Penawaran: Contoh, Sebab, Dampak
- Guncangan Ekonomi: Jenis, Penyebab, Dampak
- Guncangan Ekonomi Yang Merugikan: Contoh, Dampak, Solusi
- Ekuilibrium Makroekonomi: Konsep, Jangka Pendek dan Jangka Panjang
- Permintaan Agregat: Definisi, Alasan Miring, Determinan
- Penawaran Agregat: Definisi, Faktor Penentu