Contents
Apa itu: Kebijakan ekonomi kontraksioner, atau kebijakan ekonomi kontraktif, (contractionary monetary policy) adalah kebijakan moneter untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah uang beredar di dalam perekonomian. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan akibat inflasi tinggi dan untuk mendinginkan perekonomian. Inflasi tinggi bisa mengarah pada hiperinflasi jika tidak terkendali.
Kebijakan moneter bekerja melalui permintaan agregat. Jika kebijakan kontraksioner efektif, itu melemahkan permintaan agregat di dalam perekonomian. Inflasi bergerak pada tingkat yang lebih rendah. Karena permintaan melemah, produsen juga memoderasi laju output mereka, mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat.
Tapi, jika kebijakan tidak sukses, kebijakan kontraktif dapat mengarah pada kontraksi ekonomi. Itu adalah sesuatu yang tidak diinginkan dan mungkin terjadi ketika bank sentral atau otoritas moneter mengambil pendekatan yang terlalu agresif.
Untuk menjalankan kebijakan kontraksioner, bank sentral memiliki beberapa opsi. Tiga instrumen moneter yang umum adalah dengan menaikkan suku bunga kebijakan (policy rate), operasi pasar terbuka melalui penjualan surat utang pemerintah, dan menaikkan rasio cadangan wajib (reserve requirement ratio).
Kebijakan moneter kontraksioner adalah kebalikan dari kebijakan moneter ekspansioner. Yang terakhir bekerja secara terbalik, yakni mendorong pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Bank sentral mengadopsinya selama kontraksi atau resesi ekonomi. Instrumen moneternya tetap sama, hanya pada arah yang berkebalikan.
Sinonim kebijakan moneter kontraksioner kebijakan moneter ketat atau kebijakan moneter restriktif.
Kapan bank sentral menjalankan kebijakan moneter kontraktif
Kebijakan kontraksioner biasanya berlangsung selama fase boom ekonomi. Itu adalah bagian akhir dari fase ekspansi ekonomi. Tekanan ke atas inflasi meningkat, membuat perekonomian terlalu panas. Dan, jika tidak dikendalikan, itu dapat mengarah pada hiperinflasi.
Dalam sebuah ekuilibrium makroekonomi, situasi tersebut terjadi ketika ekuilibrium jangka pendek berada di sebelah kanan penawaran agregat jangka panjang (PDB potensial). Permintaan agregat melebihi penawaran agregat, sehingga menyebabkan tingkat harga di dalam perekonomian melonjak. Selain itu, untuk menutup ekses permintaan agregat, perekonomian meningkatkan pasokan dari impor.
Tekanan inflasi yang tinggi dapat mengarah ke arah yang tidak terkendali. Untuk menghindari perekonomian yang terlalu panas, bank sentral akan mengadopsi kebijakan moneter kontraktif.
Kebijakan moneter kontraktif mendorong turun permintaan agregat. Dalam hal ini, bank sentral mengurangi laju pertumbuhan jumlah uang beredar dalam perekonomian. Karena pasokan uang melambat, suku bunga naik. Rumah tangga seharusnya mengurangi permintaan barang dan jasa, terutama yang dibiayai melalui pinjaman seperti rumah dan mobil. Demikian juga, bisnis mengurangi investasi karena biaya modal lebih mahal dan permintaan barang dan jasa melemah.
Secara umum, untuk mengawal perekonomian, bank sentral biasanya menetapkan target tingkat inflasi. Mereka menganggap pada tingkat target tersebut, ekonomi berada pada kondisi yang sehat. Sehingga, ketika persentasenya telah keluar dari target, mereka akan mengintervensi perekonomian melalui sejumlah instrumen kebijakan moneter.
Perbedaan antara kebijakan moneter kontraksioner dan kebijakan moneter ekspansioner
Kebijakan moneter ekspansioner adalah kebalikan dari kebijakan moneter kontraksioner. Di bawah kebijakan ekspansioner, bank sentral memperluas jumlah uang yang beredar. Tujuannya adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan merangsang permintaan agregat.
Peningkatan permintaan agregat secara perlahan akan mendorong naik tingkat harga dalam perekonomian. Sehingga, tingkat inflasi akan naik.
Baik kebijakan ekspansioner dan kebijakan kontraksioner, keduanya menggunakan instrumen yang sama. Tiga instrumen yang umum adalah suku bunga kebijakan, operasi pasar terbuka dan rasio cadangan wajib.
Bank sentral mengadopsi kebijakan ekspansioner selama pertumbuhan lemah seperti selama resesi. Sedangkan, adopsi kebijakan kontraksioner adalah selama ekonomi yang terlalu panas (overheated economy), yang mana biasanya berlangsung pada bagian akhir tahap ekspansi sebelum puncak.
Cara kerja kebijakan moneter kontraksioner
Kebijakan moneter mempengaruhi perekonomian melalui perubahan dalam jumlah uang beredar. Alat utama kebijakan moneter adalah suku bunga acuan, operasi pasar terbuka, dan cadangan wajib.
Kebijakan moneter kontraksioner menggunakan satu atau kombinasi berikut:
- Menaikkan suku bunga kebijakan
- Menjual surat berharga pemerintah melalui operasi pasar terbuka
- Menaikkan rasio cadangan wajib
Suku bunga kebijakan
Suku bunga kebijakan, atau suku bunga acuan, adalah suku bunga yang dibebankan oleh bank sentral untuk pinjaman jangka pendek. Itu menjadi alat kebijakan moneter utama di beberapa bank sentral. Di Indonesia, suku bunga acuan adalah BI 7-Day Reverse Repo Rate. Di Amerika Serikat, itu adalah Fed Fund Rate (FFR).
Bank komersial biasanya mengambil pinjaman jangka pendek dari bank sentral untuk memenuhi kekurangan likuiditas jangka pendek. Sebagai konsekuensi, bank sentral membebankan suku bunga jangka pendek.
Untuk mengurangi jumlah uang beredar, bank sentral akan menaikkan suku bunga jangka pendek tersebut. Itu meningkatkan biaya pinjaman oleh bank komersial. Mereka harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk membayar kembali pinjaman.
Selanjutnya, kenaikan biaya pinjaman mengurangi keuntungan bank komersial. Itu mendorong bank komersial untuk meneruskan kenaikan biaya tersebut ke suku bunga pinjaman demi menjaga margin keuntungan. Rumah tangga dan bisnis mendapatkan bunga yang lebih tinggi ketika mereka mengajukan pinjaman.
Kenaikan pinjaman mendorong rumah tangga untuk menunda pembelian item-item tahan lama seperti rumah dan mobil. Mereka biasanya mengandalkan pinjaman bank untuk membeli item-item tersebut. Singkat cerita, ketika pinjaman menjadi lebih mahal, rumah tangga mengurangi beberapa konsumsi barang dan jasa.
Bagi bisnis, kenaikan suku bunga membuat biaya investasi modal lebih mahal. Itu menurunkan kelayakan investasi karena membuatnya kurang menguntungkan. Selain itu, prospek permintaan yang lebih lemah meningkatkan tekanan keuntungan mereka. Sebagai hasilnya, mereka menunda investasi.
Jadi, pada akhirnya, kenaikan suku bunga melemahkan konsumsi dan investasi dalam perekonomian. Itu memperlambat pertumbuhan permintaan agregat, memaksa bisnis untuk merasionalisasi output mereka.
Operasi pasar terbuka
Bank sentral menjalankan operasi pasar terbuka dengan menjual-membeli surat berharga. Dalam hal ini, rekanan bank sentral adalah bank komersial.
Ketika menjalankan kebijakan kontraksioner, bank sentral akan menjual surat berharga ke bank komersial. Uang berpindah dari bank komersial ke bank sentral. Sedangkan, bank komersial sekarang memegang surat berharga.
Sebagai hasilnya, bank komersial memiliki lebih sedikit uang untuk dipinjamkan. Likuiditas mereka berkurang dan mendorong suku bunga untuk naik.
Cadangan wajib
Bank komersial menyisihkan sebagian dari simpanan sebagai cadangan. Mereka wajib memiliki jumlah minimum cadangan wajib (reserve requirement), baik disimpan di bank sentral dan atau dalam brankas mereka sendiri.
Misalnya, rasio cadangan wajib adalah sekitar 10%. Itu berarti bank komersial harus menyimpan Rp10 dari setiap Rp100 simpanan sebagai cadangan. Sisanya, Rp90, dapat mereka pinjamkan.
Ketika bank sentral menaikkan rasio cadangan, misalnya menjadi 15%, bank komersial memiliki lebih sedikit uang untuk dipinjamkan. Mereka hanya dapat meminjamkan uang Rp85 dari setiap Rp100 simpanan.
Jadi, kenaikan cadangan mengurangi jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Likuiditas perbankan menurun sehingga mendorong suku bunga untuk naik.
Efek kebijakan moneter kontraksioner
Kebijakan moneter kontraksioner berdampak luas terhadap perekonomian. Itu mempengaruhi inflasi, pertumbuhan ekonomi dan pengangguran.
Ketika laju pertumbuhan jumlah uang beredar lebih lambat, likuiditas di pasar keuangan menjadi lebih ketat. Orang menjadi lebih sulit untuk menemukan uang. Oleh karena itu, suku bunga akan naik karena pasokan lebih terbatas. Karena alasan ini, kebijakan moneter kontraksioner kita sebut juga sebagai kebijakan moneter ketat karena jumlah pasokan uang menjadi lebih ketat dibandingkan sebelumnya.
Kenaikan suku bunga membuat pinjaman menjadi lebih mahal. Itu pada akhirnya mempengaruhi permintaan agregat melalui efeknya terhadap perilaku konsumsi dan berinvestasi sektor swasta.
Pertumbuhan ekonomi lebih lambat
Kebijakan moneter kontraksioner meredam laju pertumbuhan permintaan agregat. Permintaan lebih lemah mengurangi tekanan ke atas tingkat harga (inflasi). Selain itu, bisnis juga meresponnya dengan mengurangi laju produksi. Sebagai hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi melambat.
Pelemahan permintaaan agregat terjadi karena rumah tangga mengurangi beberapa konsumsi barang dan jasa. Pada saat yang sama, bisnis juga mengurangi investasi modal, mempertimbangkan biaya modal yang lebih mahal dan permintaan yang lebih lemah.
Pertumbuhan jumlah uang yang lebih lambat mengetatkan likuiditas dan mendorong kenaikan suku bunga di pasar keuangan. Biaya pinjaman lebih mahal, mendorong rumah tangga dan bisnis untuk enggan mengajukan pinjaman baru.
Laju inflasi lebih moderat
Permintaan agregat yang lebih lambat mengurangi laju inflasi, khususnya inflasi tarikan permintaan (demand-pull inflation). Kurang lebih konsepnya seperti ,hukum permintaan-penawaran mikroekonomi (meskipun lebih kompleks). Dengan asumsi pasokan masih konstan, penurunan permintaan akan memunculkan ekses pasokan, yang mana akan menekan harga ke bawah. Jadi, ketika permintaan agregat melemah, tingkat harga (inflasi) cenderung turun.
Bank sentral biasanya menggunakan target inflasi sebagai jangkar kebijakan moneter. Jika tingkat inflasi telah melebihi target, itu adalah waktu bagi bank sentral untuk mengambil kebijakan kontraksioner.
Pengangguran meningkat
Melemahnya permintaan agregat mendorong bisnis untuk merasionalisasi produksi. Jika tidak, itu hanya akan menghasilkan ekses pasokan dalam perekonomian, menekan harga semakin jatuh. Dan, jika tidak menurunkan laju produksi, keuntungan mereka akan semakin jatuh.
Pada awalnya, bisnis akan merespon pelemahan permintaan agregat dengan menghentikan perekrutan tenaga kerja baru. Dalam situasi ini, tingkat pengangguran mungkin masih akan tetap rendah.
Tapi, jika permintaan agregat terus melemah, mereka akan merespon dengan mengurangi produksi. Mereka berusaha untuk beroperasi secara lebih efisien dengan mengurangi beberapa biaya operasi. Salah satu opsinya adalah dengan mengurangi tenaga kerja. Sebagai hasilnya, tingkat pengangguran perlahan naik.